11/08/16

Omongan adalah Doa

Percaya gak percaya sih, kata nyokap omongan gue emang suka jadi kenyataan. Jadi gue sering banget untuk berhati-hati dalam berbicara. *yang bener lu han* hahaha. Bahkan omongan dalam hati gue aja sering jadi kenyataan. Tapi yang gue gak sangka-sangka ada yang lebih parah sih dari gue, omongan dia mah mujarab banget, yang sayangnya itu selalu bener.

Masih inget gak sama oknum ADP yang sering saya ceritain? Jadi omongan dia sering banget jadi kenyataan pas jalan bareng gue.   Bermula dari pulang bareng beberapa minggu yang lalu dari Jogja ke Jakarta. Iya si Oknum ADP kebetulan mau ketemu calon mertuanya dan kebetulan pulangnya bareng gue. :P
 Terjadi perdebatan singkat antara gue dan oknum ADP  yang memperebutkan kursi pesawat di samping jendela.
“Mas tar aku duduk di samping jendela ya?”
“Gak lah gue aja,”
“Yah, mas aku pengen liat pemandangan biar gak bosen,”
“Yang beli tiket siapa? Lagian bosen kenapa sih?”
“Ah, bete, nanti aku ganti. Bosen aja liat mukamu terus. Hahaha,”
“ Yaudah bye! Nanti ada pembatasnya tenang aja,”

Gak lama kemudian oknum ADP kabur ngerokok. Sampai panggilan untuk penumpang tujuan Jakarta terdengar. Kami berdua masuk ke pesawat dan mencari tempat duduk sesuai nomor tiket.

Dan ternyata........

Omongan Oknum ADP ini jadi kenyataan semua. Kami berdua gak ada yang satupun duduk samping jendela dan bahkan beneran ada pembatas. Iya kami memang duduk bersampingan tapi dipisahkan oleh lajur jalan di dalam pesawat. Hahaha

Yang paling anti mainstream lagi pas keesokan harinya Oknum ADP akan bertamu ke rumah calon mertuanya. Dia kebetulan nginep di daerah Grogol dan calonnya anak Tangerang Selatan. Deket banget  yak nginepnya? Gak ada ujan gak ada angin si Oknum ADP yang biasanya naik KRL tiba0tiba jadi anak Transjakarta. Doi kebetulan berangkat jam setengah tiga, taukan setengah tiga itu kan menuju jam pulang kantor? Tengah jalan doi ngabarin katanya badannya panas dingin duduk di transjakarta. Mungkin doi panas dingin ngeliat mba-mba seksi di sana, atau doi gak biasa pake ac kali. :P
Sekitar jam 4 doi ngabarin sudah sampai pondok indah.
“Mas, kamu dimana?” tanya si pacar dikala itu.
“Di pondok indah,”
“Oh, yaudah bentar lagi nyampe. Kamu bawa sarungkan?”
“Sarung  buat apa?”
“Buat solat di rumahku. Tadi aku disuruh jadi inem sama ibu,bersihin kamar mandi. Katanya takut kamu datang mau numpang solat terus kamar mandinya jorok.”
“Oh, yaudahlah aku datangnya abis magrib aja biar gak ditanyain solat yah? Hahaha. Bilang aja macet nanti,”
“ih parah! Macet beneran nanti baru tau rasa,”
“Hahahaha, yaudah ya aku istirahat dulu. Aku rada pusing nih,”

Pembicaraan kemudian terhenti. Sampai setengah 6 sore oknum ADP belum sampai-sampai juga. Ada rasa takut dari si pacar, jangan-jangan Oknum ADP di culik Wewe gombel karena magrib-magrib masih di luar rumag. Atau jangan-jangan oknum ADP tadi sebenernya digigit serangga aneh lalu berubah jadi monster yang menakutkan? Entahlah.
Sesuai pernyataan Oknum ADP,  doi bener-bener sampai setelah magrib. Dengan muka kuyu pucet pasi. Hahaha. Doi jackpot, men! Hahahaha. Entah kenapa gue gak bisa nahan ketawa. Antara lucu dan kasian sih sebenernya. Hahaha.

Masih banyak sih omongan Oknum ADP lainnya yang jadi kenyataan. Contohnya doi pernah bilang ke pacarnya “Aku percaya kamu akan ngelakuin yang aku minta,” dan kenyataan pacarnya memang melakukan semua yang doi minta. Termasuk kepesimisan doi terhadap hubungannya dengan si pacar di masa depan. Dan pada akhirnya jadi kenyataan........


So, hati-hati ah gue mulai sekarang kalau ngomong. :P

13/07/16

Mengingat Kubur Kembali



Lebaran idul fitri identik dengan kunjungan ke saudara-saudara terdekat termasuk yang sudah almarhum. Seperti tahun-tahun sebelumnya kali ini pun saya datang ke kuburan selepas solat Ied, namun bukan kuburan oma atau iyiak yang saya kunjungi tetapi kuburan Wan nya Kak Devi. Ya, tak sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini saya idul fitri di Natuna, tepatnya di Desa Pengadah.
                Terdapat beberapa perbedaan kuburan yang ada di sini dengan kuburan-kuburan yang sedari kecil selalu saya lihat. Tak ada pohon kamboja putih, tak ada pohon kenanga, hanya ada pohon kelapa di ujung-ujung tepi perkuburan, ditemani bunga kubur di sudut-sudut nisan. Jangan berpikir bunga kubur berbentuk bunga, tanaman itu adalah tanaman berdaun warna-warni tanpa bunga. Di rumah ibu saya, bunga kubur itu lebih dikenal sebagai tanaman hias. Suatu ketika saat saya masih SD ibu menanam tanaman itu di halaman rumah. Saya tidak menyangka bahwa tanaman itu dijadikan pohon penghias kuburan di sini.
Salah Satu Kuburan di Desa Pengadah

                Perkuburan ini nampak padat tak hanya padat pengunjung namun juga padat dengan nisan-nisan. Saya perhatikan satu-persatu nisan di setiap liang kubur. Jika liang kuburan Oma dan Inyiak hanya memiliki satu nisan, di sini terdapat dua nisan di setiap kuburan almarhum. Jarak antara nisan di liang kubur pun cukup pendek menimbulkan sebuah pertanyaan dipikiran saya. Ternyata panjang nisan di liang kubur hanya sebatas kepala sampai  pusat, sehingga liang kubur masing-masing almarhum cukup pendek.


                Selepas berdoa di makam, Mamak menyiram air ke makam, bukan air kembang, bukan pula air mawar, hanya air biasa. Baru saya sadari tekstur tanah di desa tempat saya tinggal cukup sulit untuk menanam bunga-bunga, sehingga tak ada taburan bunga mawar,melati, kamboja dan kenanga. Cukup sebotol air untuk meneduhkan nisan yang mungkin telah lama tak tersentuh. Suasana ketika itu mengingatkan saya bahwa pada hakikatnya ketika kita kembali ke Yang Maha Kuasa, tak ada lagi hal-hal lain yang dapat kita bawa, hanya sebotol doa dari anak-anak solah yang dapat menemani. Seperti doa Mamak dan Kak Devi ke Wan yang telah tiada.



20/04/16

Surat Rindu untuk Marcel Darma Bachtera


Setiap ada masalah tiba-tiba kamu selalu muncul dalam angan dalam mimpi. Seperti tadi malam, gue rindu nangis dipelukan lo Cel. Cel, lo apa kabar? 5 tahun ini banyak yang datang silih berganti di kehidupan gue. Tapi yang paling gue sesali adalah perasaan gue, perasaan gue yang gak pernah lo tau. Kalau dulu gue gak defense, kalau dulu gue gak mikirin perasaanmaul ke lo, mungkin gak akan sesakit ini kehilangan lo.  Demi Tuhan Cel, tiap adayang datang dan berlalu pergi, gue selalu aja membanding-bandingkan dengan diri lo.


Cel, Ijah rindu Encel.


Lo  yang tenang kan di yaumul barzakh? Cel, demi Tuhan gue rindu lo. Gue pengen cerita macem-macem lagi sama lo.  Cerita tentang mereka yang semakin jarang berkomunikasi, tentang mereka yang semakin sibuk dengan dunia mereka tanpa peduliin gue, tentang semua keinginan lelaki-lelaki itu yang membuatku ketakutan.

Cel, gini ya rasanya patah hati yang udah pernah aku rasain berkali-kali. L Cel, banyak hal baru yang gue laluin tanpa lo. Dan sungguh gue gak kuat tanpa lo..


Cel, pengen nangis sesunggukkan, di depan lo. Kayak dulu lagi, kayak pas waktu kecil dulu.  J

03/04/16

Sejernih Air dari Telaga




Tiga bulan terasing di desa yang tak saya kenal mulai menjenuhan. Awalnya semua terlihat wajar, hanya beberapa hal kecil yang membutuhkan penyesuaian, misalnya anak-anak yang tak pernah paham dengan matematika. Tempat saya tinggal cukup terfasilitasi, air bersih dengan sistem meteran telah berjalan, listrik ada 24 jam, sinyal salah satu operator pun ada, meskipun untuk sinyal internet tidak ada. 2 bulan terakhir  beradaptasi di desa ini, saya harus mulai menelan pil racun satu persatu. Listrik sering mati tak tentu, diikuti dengan sinyal yang menghilang, 2minggu terakhir air tak mengalir sedikit pun.
Saya mau tak mau lagi-lagi harus beradaptasi dengan semua yang ada di sini. Pagi sekali saya harus segera mengambil air di telaga (sumur alami) untuk di bawa pulang ke rumah memenuhi kebutuhan air untuk bertahan di sini, begitu pula sore hari. Air telaga yang bawahnya berpasir dan dikelilingi dengan daun dan batang yang mengering. Air yang tidak aku tahu bersih atau tidak. Air yang entah beberapa kali tercampur dengan sisa sabun sehabis mandi warga sekitar. Saya juga harus menempuh jarak kurang lebih 100 meter untuk sampai telaga, mengambil air secara manual dengan ember kecil dan memindahkannya ke dalam ember bekas cat yang berukuran 20 kg, membawanya 2-3 kali sambil tertatih-tatih untuk sekedar mandi, cuci baju dan cuci piring.
Hal -hal itu lah yang harus saya hadapi di luar sekolah. Sementara di sekolah saya harus menghadapi masalah dimana anak-anak sangat sulit untuk paham dengan pelajaran. Belum lagi amygdala mereka yang sering pecah, membuat amydala saya juga pecah dan beberapa kali saya lost. Sedetik kemudian emosi saya pun memuncak, pecah. Ketimbang marah-marah saya lebih sering menjadi anak kecil, untuk keluar kelas dan merajuk tidak mau mengajar.
Mengeluh juga tak akan menyelesaikan masalah, selama ini hal itu lah yang saya pahami. Menyerah juga tak mungkin! Bukankah ini yang memang saya harapkan dari dulu, setelah dulu ibu menentang keras, setelah bapak memberi nasehat halus,  setelah bujukan dari kekasih tak saya gubris?
Satu hari, dua hari, hingga dua minggu telah berlalu, saya mulai berdamai dengan keadaan. saya mulai terbiasa berkeringat sebelum mandi karena mengambil air. Ada satu hal yang saya pelajari, meski air telaga belum saya ketahui kebersihannya atau apakah air telaga sebersih air meteran yang biasanya mengalir, toh air telaga itu tetap saya gunakan. Air telaga itu masih dapat saya gunakan untuk mandi, mencuci baju dan cuci piring. Toh selama 2 minggu ini saya tidak tiba-tiba kena penyakit kulit, baju dan piring yang saya cuci juga tetap bersih.
Saya belajar bahwa, meskipun anak-anak di desa sulit dan sukar untuk paham tapi jika diajarkan dengan niat sungguh-sungguh pasti mereka mampu. Seperti air telaga tidak sebersih air meteran dengan niat yang sungguh-sunguh air telaga itu tetap bisa saya gunakan untuk mencuci baju dan hasilnya sama baiknya dengan air meteran.

25/03/16

Nyepi di tahun 2016


Ada yang berbeda di pagi hari ini. Jam 4.30 pagi sudah banyak  suara Honda1 yang yang berkeliaran di sepanjang jalan, di samping rumah singgahku. Berbeda mungkin dengan pengalamanku di tahun-tahun sebelumnya. Nyepi identik dengan kesendirian, merefleksi amal perbuatannya selama 1 tahun berselang, diiringi dengan berpuasa satu hari penuh bagi umat Hindu. Itulah yang biasanya aku rasakan saat libur hari raya Nyepi, kebetulan beberapa temanku beragama Hindu. Akan tetapi hari ini, ketika aku tinggal di Pengadah-Natuna, semua tampak berbeda, mungkin karena hampir 100% penduduknya muslim.
Pukul 6 pagi ini, disekitar rumahku sudah ramai oleh suara murid-murid. “Ibu, Ibu..!” beberapa diantara mereka memanggilku dari luar rumah. Padahal aku baru saja selesai membersihkan rumah yang seperti kapal pecah. Ya, sehari sebelum tanggal 9 Maret ini. Rumah singgahku penuh dikunjungi murid-murid. Ada yang sengaja datang untuk membuat surat pena ke beberapa SD di Natuna ada pula yang datang untuk membuat teropong matahari. Hari ini, meskipun bertepatan dengan hari libur nasional hari raya nyepi, tidak menyurutkan minat murid-murid di SD Pengadah untuk melihat gerhana matahari. Iya, gerhana matahari yang tidak selalu ada tiap tahunnya. Di daerah kepulauan Natuna, terutama Pengadah, gerhana matahari maksimum hanya sebesar 86%.
Aku keluar dari rumah menuju sekolah. Kebetulan jaraknya tidak begitu jauh. Murid-murid menghampiriku. Aku memandang langit sejenak. Awan pekat memenuhi langit pagi itu, matahari terbit dengan malu-malu. Ada perasaan takut yang menghantui, bagaimana jika gerhana matahari tidak tampak?
Murid-murid memburuku dengan pertanyaaan yang sama, “Mana bu, gerhananya, mana?”
Aku hanya tersenyum kecut, segala persiapanku nampaknya akan percuma. Rencana moderasi yang kubuat dengan pos-pos media melihat gerhana, dan juga soal-soal perkalian dan pembagian yang kubuat di pos pengamatan seakan hanya menjadi kekecewaan belaka. Aku berjalan ke sekolah masih dengan berusaha tersenyum riang, walau hatiku sangat khawatir.

                Aku sampai di sekolah dengan pintu gerbang masih tertutup rapat, kepala sekolah dan satu guru yang berjanji hadir belum juga datang. Ada perasaan cemas yang bukan main, takut usaha murid untuk membuat media teropong dari dua hari yang lalu akan sia-sia. Belum lagi jika saat Pak Syah kepala UPTD dan Ibu Rus Pengawas yang berjanji hadir datang, dan ternyata gerhana matahari tidak tampak? Malu, pastinya.
                Aku mencoba melakukan beberapa pemetaan mengenai pos-pos permainan yang akan dibuat di sekolah, untuk menghilangkan kegelisahanku. Sayangnya dari sekolah, matahari tidak tampak terlihat tertutup pohon kelapa yang cukup banyak. Aku kemudian mencoba keluar menuju tepi pantai, murid-murid mengikutiku dari belakang tanpa kuminta, seolah masih bertanya mana yang namanya gerhana matahari.
                Kuputuskan untuk mengalakukan pengamatan di tepi pantai agar murid-murid dapat melihat secara jelas gerhana matahari. Awan pekat masih menghalangi matahari, hanya bias cahaya matahari yang memantul di ujung timur pantai. Waktu terus berputar, namun tidak ada seorang pun lagi yang datang kesekolah. Menambah pekatnya energi negatif yang kukeluarkan.
Jam 06.43 WIB, mobil Pak Mat, kepala sekolahku melaju ke arah sekolah lalu berlalu. Aku cukup kebingungan mengapa Pak Mat malah berlalu? Ternyata Pak Mat memberhentikan mobilnya di depan rumah singgahku. Aku melihat dari kejauhan beliau keluar dari mobilnya sendiri. Tak ada Pak Syah, ataupun Ibu Rus yang kemarin sempat berjanji akan hadir ke sekolah. Rasa kekecewaanku semakin menumpuk. Yasudahlah, sing penting aku sudah berusaha melakukan tugas yang diberikan padaku.
                Aku kemudian menghampiri kepala sekolah. “Pak, Pak Syah tidak pergi bersama bapak?” tanyaku saat saya sudah berada di dekat Pak Mat.
                “Tidak bu, kemari izin tidak jadi hadir. Ada keperluan di pinang,”
                “Oh…., kalau Bu Rus?”
                “Ibu Rus sudah susah untuk berjalan, buk. Kakinya masih bengkak,” jawab Pak Mat. Selalu, selalu alasan yang sama. “Bu, pengamatannya di sini saja bu. Kalau di sekolah tidak terlihat Bu. Langitnya berawan pula Bu. Entah tampak atau tidak gerhana mataharinya,” tambah Pak Mat. Entah mengapa kali itu benar-benar kecewa. Sudah! Sudah lupakan saja pos-pos permaian yang telah dibuat dari tadi malam! Mari tutupi kekecewaan dengan senyum lebar.
 Aku mengajak murid-murid ke tepi pantai di belakang rumah singgahku. Awan masih saja menutupi matahari dan pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya down sesekali berbunyi nyaring. ‘Bu, mana gerhana mataharinyanya, mana, Bu? Mana?’
“Ambil penyapu di kelas sana, kita sapu awannya,yuk! Supaya tidak menghalangi matahari,” ucapku menanggapi pertanyaan-pertanyaan dengan bercanda. Bagaimanapun aku harus berpikir setenang mungkin, aku tidak ingin meledak di depan muridku.


sibuk mencari dimana gerhana matahari
Sesekali saat awan berarakan meninggalkan langit, gerhana matahari tampak. Dalam hitungan menit gerhana matahari tertutup awan lagi. Hal ini terus menerus, namun tidak menurunkan semangat muridku. Energi posistif kembali mengelilingiku, ketika melihat mereka bersemangat.
Mereka begitu antusias, ada yang saling berebutan ingin melihat dengan kacamata khusus gerhana adapula yang tetap kekeuh menggunakan teropong yang telah mereka  buat meskipun mereka belum menemukan titik timbul cahaya mataharinya. 
“Bu Hani! Keliatan bu, keliatan!” Seru Sahara, salah seorang muridku yang menggunakanan teropong buatannya.
“Bu, warnanya merah bu!” jerit Diki menggunakan kacamata khusus gerhana.
“Bukan, bu. Warna oren. Kayak bulan sabit. Ih, Lawa2 nya!” seru Ine menimpali percakapan Diki.
“Ibu, mau liat bu, mau liat!” ucap muridku yang tidak kebagian menggunakan kacamata. Maklum kacamata gerhana yang diberikan padaku hanya berjumlah lima buah. Satu buah dibawa pulang oleh Pak Darani yang rencananya akan datang namun tidak datang, satu dipegang oleh Pak Mat dan tiga buah sisanya digunakan secara bergantian oleh anak murid.

pengamatan dengan kacamata gerhana

Jeritan bahagia murid-murid terdengar jelas. Kekewaanku hilang sudah. Keinginan kecilku tercapai sudah. Sebuah keinginan agar murid-muridku menambah ilmu dan menambah pengalaman mengenai gerhana matahari.

murid-murid mencoba dengan tropongnya masing-masing
Beberapa warga di sekitar pantai keluar rumah mendengar kehebohan dari anak muridku. Pak Mat menerangkan secara singkat apa yang sebenarnya sedang terjadi di sekitar pantai. Beberapa warga yang tadinya takut-takut akan mitos gerhana matahari-jika keluar rumah akan sakit-akhirnya ikut penasaran dengan bentuk gerhana matahari yang sesungguhnya. Ditambah pemberitaan di media TV yang tiada habisnya tentang gerhana matahari, membuat mereka semakin penasaran. Pak Mat meminjamkan kacamata gerhana yang sedari tadi ia pegang kepada warga.

beberapa warga yang ikut mencoba

Sekitar hampir 2 jam berdiri dan berpanas-panasan dipantai murid-murid mulai kelelahan. Topik mengenai gerhana matahari berubah ketika melihat air pantai sedang surut. Murid-muridku kemudian terlihat antusias untuk mencari Kuyong3, latoh4 dan ketam5 atau bahkan hanya sekedar untuk mandi air asin.
“Bu, mandi air asin yuk, mandi air asin!” ucap murid kelas 6 yang bernama rasmi.
“Memangnya kalian bawa baju ganti?” tanyaku.
“Gak apa-apa buk. Ya bu, ya bu!” ucap Febri tak mau kalah.
Seakan tak mau kehilangan kesempatan ini, aku kemudian menyetujui dengan beberapa persyaratan. Bukan kah berhubungan social dengan orang lain itu tentang kepercayaan? Aku mengizinkan mereka bermain dipantai dengan persyaratan mereka dapat menjawab pertanyaanku tentang gerhana matahari. Hampir sebagian besar murid-murid yang hadir paham tentang proses gerhana matahari yang beberapa hari lalu telah ku jelaskan. Murid-muridku pulang setelah mendapatkan banyak kuyong dan latoh. Sebagian besar bahkan diberikan padaku. Hari ini aku banyak belajar bahwa yang terjadi maka terjadilah, aku tak dapat mengubahnya namun aku dapat mengelolahnya menjadi lebih baik atau mengelolahnya menjadi lebih buruk. Semua kesempatan ada ditanganku sendiri bukan orang lain.


Honda 1            = Motor
lawa2                      = cantik
kuyong3                = siput
latoh4                     = semacam rumput laut berbulir-bulir
ketam5             = Kepiting kecil