Tiga bulan
terasing di desa yang tak saya kenal mulai menjenuhan. Awalnya semua terlihat
wajar, hanya beberapa hal kecil yang membutuhkan penyesuaian, misalnya
anak-anak yang tak pernah paham dengan matematika. Tempat saya tinggal cukup
terfasilitasi, air bersih dengan sistem meteran telah berjalan, listrik ada 24
jam, sinyal salah satu operator pun ada, meskipun untuk sinyal internet tidak
ada. 2 bulan terakhir beradaptasi di
desa ini, saya harus mulai menelan pil racun satu persatu. Listrik sering mati
tak tentu, diikuti dengan sinyal yang menghilang, 2minggu terakhir air tak
mengalir sedikit pun.
Saya mau tak mau
lagi-lagi harus beradaptasi dengan semua yang ada di sini. Pagi sekali saya
harus segera mengambil air di telaga (sumur alami) untuk di bawa pulang ke
rumah memenuhi kebutuhan air untuk bertahan di sini, begitu pula sore hari. Air
telaga yang bawahnya berpasir dan dikelilingi dengan daun dan batang yang
mengering. Air yang tidak aku tahu bersih atau tidak. Air yang entah beberapa
kali tercampur dengan sisa sabun sehabis mandi warga sekitar. Saya juga harus
menempuh jarak kurang lebih 100 meter untuk sampai telaga, mengambil air secara
manual dengan ember kecil dan memindahkannya ke dalam ember bekas cat yang
berukuran 20 kg, membawanya 2-3 kali sambil tertatih-tatih untuk sekedar mandi,
cuci baju dan cuci piring.
Hal -hal itu lah
yang harus saya hadapi di luar sekolah. Sementara di sekolah saya harus
menghadapi masalah dimana anak-anak sangat sulit untuk paham dengan pelajaran.
Belum lagi amygdala mereka yang sering pecah,
membuat amydala saya juga pecah dan beberapa kali saya lost. Sedetik kemudian emosi saya pun memuncak, pecah. Ketimbang
marah-marah saya lebih sering menjadi anak kecil, untuk keluar kelas dan merajuk
tidak mau mengajar.
Mengeluh juga
tak akan menyelesaikan masalah, selama ini hal itu lah yang saya pahami.
Menyerah juga tak mungkin! Bukankah ini yang memang saya harapkan dari dulu,
setelah dulu ibu menentang keras, setelah bapak memberi nasehat halus, setelah bujukan dari kekasih tak saya gubris?
Satu hari, dua
hari, hingga dua minggu telah berlalu, saya mulai berdamai dengan keadaan. saya
mulai terbiasa berkeringat sebelum mandi karena mengambil air. Ada satu hal
yang saya pelajari, meski air telaga belum saya ketahui kebersihannya atau
apakah air telaga sebersih air meteran yang biasanya mengalir, toh air telaga
itu tetap saya gunakan. Air telaga itu masih dapat saya gunakan untuk mandi,
mencuci baju dan cuci piring. Toh selama 2 minggu ini saya tidak tiba-tiba kena
penyakit kulit, baju dan piring yang saya cuci juga tetap bersih.
Saya belajar bahwa, meskipun anak-anak di desa sulit dan sukar untuk
paham tapi jika diajarkan dengan niat sungguh-sungguh pasti mereka mampu.
Seperti air telaga tidak sebersih air meteran dengan niat yang sungguh-sunguh
air telaga itu tetap bisa saya gunakan untuk mencuci baju dan hasilnya sama
baiknya dengan air meteran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar