06/03/16

Jangan Satu Tahun, Seribu Tahun Ya!


   Kebetulan saya mendapat tugas mengabdi selama 1 tahun di Pengadah. Timbul pertanyaan kecil saat saya sampai di Desa Pengadah, “Apa saya bisa berarti bagi orang-orang di sini?” dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang meningkatkan rasa takut pada diri saya sendiri. Bagaimanapun rasa takut saya mulai berkembang ketika saya sulit memahami bahasa daerah setempat di awal penempatan. Jadi yang saya lakukan hanya tersenyum ketika bertemu dengan penduduk desa.

       Rasa ketakutan saya semakin menjadi-jadi selama seminggu saya di sana. Menghilangkan kecanggungan saya mulai mendekati murid-murid. Tak banyak waktu dalam hitungan jam kami sepakat besok akan mandi air asin di pantai. Tak tanggung-tanggung mereka berjanji menjemput saya dan akan berjalan kaki bersama-sama menuju pantai. Rumah tempat saya tinggal sebenarnya terletak di pinggir pantai namun di Desa Pengadah ada beberapa pantai yang memang dijadikan objek wisata penduduk lokal.




Senyum Manis Travelis dan Vina

Perjalanan Menyusuri Tepi  Pantai



      Keesokan harinya jam 7 pagi saya sudah dijemput beberapa murid, sambil menunggu murid-murid lainnya mereka bermain di pantai depan rumah tempat saya tinggal, kebetulan air pantai sedang surut. Mereka mencari beberapa ikan dan ketam di pinggir pantai. Tak mau kalah saya pun menhampiri mereka, membantu mereka menangkap ikan dan ketam. “Bu, Bu! Ada nyewen bu, ada nyewen! Bantu kami tangkap bu!” teriak salah seorang murid saya yang bernama Travelis. Bukannya ikut membantu saya malah sibuk melihat hewan yang mereka sebut nyewen. Bentuknya sekilas seperti lele jumbo yang berukuran panjang tapi dari kegesitannya nyewen bisa dikatakan hampir sama dengan belut. Lain halnya dengan Travelis yang ingin menangkap nyewen, Vina temen sekelasnya malah ketakutan. “bu takut nanti disengat!, nanti kaki vina bengkak!”
Nyewen yang Sudah dibakar

     Tak lama setelah berkejar-kejaran dengan nyewen, antara ingin menangkap dan harus berhati-hati agar tidak tersengat nyewen akhirnya dapat ditangkap. 
               “Bu, nanti kita bakar ya bu. Hmm, nyaman loh bu. Kita kemping bu makan di pantai Jani. Nanti kita cari nganga juga  ya, bu” ucap Nanda pada saya.
             "Bu, song gi (ayo pergi), ke pelabuhan Jani. Lewat tepi pantai saja bu biar laju (cepat)!" ucap Wanda pada saya.
           Saya kemudian menyusuri pantai menuju pelabuhan. Perjalanan cukup melelahkan karena jarak pelabuhan hampir 4 KM lewat jalur darat. Perjalanan bahkan memakan waktu hampir 2 jam, namun tidak berasa karena sambil menyusuri pantai kami sambil mencari ikan, nganga, ketam dan tentunya juga menemukan banyak bintang laut. Oh, saya akan jelaskan sedikit tentang Nganga. Nganga  adalah hewan laut yang rumah bernaungnya digunakan sebagai hiasan yang dijual dipinggie pantai. Kali ini saya benar-benar lihat bentuk hewan yang tinngga di dalamnya. Nah, ini hewan yang sering disebut nganga oleh warga lokal.
Nganga bakar

      Setelah melalui perjalan panjang, akkhirnya kami sampai dipelabuhan di sana, kami membawa bekal yang kami bawa sekaligus menyiangi hasil laut yang kami dapatkan.

Pelabuhan Jani
 Selepas memakan bekal yang kami bawa. Perjalanan kami lanjutkan ke pantai ujung Jani. View di sana sangat eksotis menurut saya. Terlebih bagi saya yang saat ini sudah jarang sekali berlibur. Pantainya dilindungi oleh batu karang dengan warna pantai hijau tosca. Subhanallah! Tuhan, memang MAHA KUASA!

Pantai Jani


              Saya begitu terpana ketika ternyata mereka dengan sigap ada yang membuat api, ada yang mencari kayu, ada yang mengambil nyok (kelapa) dan ada sebagain mandi air asin. Rasanya senang sekali bisa makan, bermain dan berkumpul dengan murid-murid. apalgi menyoba makan baru seperti nganga dan nyewen.  Dari Sensori rasa nyewen mirip dengan lele, namun lebih kenyal. sedangkan nganga, nampaknya akan menjadi makanan kesukaan saya selanjutnya. rasanya kenyal-kenyal kya seperti cumi.
Selamat Makan, Selamat Datang di Penagadah! :)

Suatu hal yang saya pikir akan sulit. Ternyata hanya dalam 1 minggu mereka sudah bisa mempercayai saya yang baru mereka kenal. Bahkan mereka ada yang menangis karena saya cerita hanya tinggal 1 tahun di sini. “Bu, tinggal di sini aja bu,ya. Nikah di sini saja, jangan cuma satu tahun ya bu, seribu tahun ya bu,” Mulai saat itu saya bertekat untuk membangun sebuah kepercayaan tidak ada lagi ketakutan, jika saya takut mau sampai kapan saya akan terbelenggu dengan ketakutan sendiri?

26/02/16

As a Model



Gue gak pernah sedikitpun bercita-cita sebagai model. Dulu kalau ditanya orang tentang cita-cita gue, gue Cuma senyum-senyum najong. Hari ini mau jadi astronot, besok pilot, besoknya lagi dokter, besoknya lagi jati pembatu rumah tangga di tempat orang kaya. Hahaha. *ini serius gue pernah punya cita-cita seperti itu.*
Ternyata setelah hampir 2 tahun kerja gue sadar. Gue mungkin memang berbakat jadi model. *eaaa, gue ditimpuk orang-orang sedunia* muka jerawatan, kulit berminyak dan kusam masak mau jadi model. Eit, jangan slah sangka dulu. Bukan model-model macem yang ada di majalah  atau tv. Bukan! Gue berbakat jadi model,  iya model, yang ditiru orang banyak. *semoga gue bisa yang mengemban tugas sebagai model*
Dulu pas gue  jadi asisten manager di sebuah perusahaan  retail. Secara gak langsung gue jadi panutan karyawan seentero store, lupa kaus kaki dikit bisa-bisa ditanya, “Bu, kok gak pake kaus kaki hitam” dan masih banyak lagi. Mau gak mau tugas gue dulu  dijadihin contoh orang banyak. Salah sedikit habislah riwayat gue.
Sekarang setelah gue mengikuti Indonesia Mengajar, lagi-lagi gue terjebak sebagai model yang akan ditiru oleh anak-anak di sekolah. Mau gak mau, gue harus bisa menjaga image gue sebagai guru. Yang gak gue habis piker mereka senang banget manggil-manggil gue minta diajarin gue, terus kalau gue masuk kelas, kelas itun langsung pecah. Dwaar.
Baru gue sadari tugas  seorang guru ya layaknya model. Harus memberi kesan yang anggun, bijaksana dan memesona. Tapi ternyata kayaknya gue salah, gue dating sebagai sosok yang anggun dan memesona namun kurang disiplin jadilah anak-anak suka rebut sendiri. Jadilah akhir-akhir ini gue suka marah-marah, sifat asli gue keluar. Hahaha. Dan yang baru gue sadari anak-anak sadar kalau gue suka cemberut. Sampai ada yang kasih permen coklat supaya gue gak cemberut lagi. Sesuatu ye?
So, nanti selepas gue selesai program IM, gue tau gue mau jadi apa. *jadi model, ikut miss Indonesia dan kemudia miss univers* #yeey *diruqiah warga* bhahaha. Gak, gue selepas IM yam au cari pekerjaan yang sesuai dengan habit gue, ya sesuatu pekerjaan yang MODEL buat orang lain.

08/02/16

Dan Pantai Pun Terdiam


Kejadian ini bermula ketika…..
gue mulai penat dengan keadaan di desa tempat gue tinggal sekarang. Setelah sebelumnya gue di sarankan sebagai guru SBK (seni  budaya dan keterampilan) atau bahasa Inggris. Gue lebih memilih sebagai guru SBK, piker gue, yaelah kalau gambar mah gue bisa lah. Jengjeng, pas buka kurikulum dan masuk Kompetensi  dasar gue langsung pening. SBK setiap kelas harus ada materi seni rupa, kerajinan tangan, musik dan tari. Cailah, gue mana bisa nari. Nyanyi? Ya allah, udah banyak korban yang meyakinin kalau suara gue eksotis atau dengan kata lain bikin kuping orang pengang. Diperparah lagi tidak ada alat musik sedikitpun. Terus gue macem mana lagi ngajarin anak SD itu? Oke, curhatnya udahan aja ya. #dusta
Akhirnya gue diminta mengajarkan matematika. Okelah, gue juga sama dodolnya kalau belajar matematika. Seenggaknya matematika itu hanya angka yang bisa dihitung dengan berbagai macam cara. Oke, masuk ke kelas 5, its okay, mungkin karena jumlah muridnya hanya 5 orang. Masuk ke kelas 6, gue mulai desperate. Kalau gue kemarin-kemarin mulai percaya tidak ada orang yang bodoh dan orang yang pintar yang ada hanya orang malas dan orang rajin. Sekarang gue, mulai gak yakin dengan pemikiran itu. Anak kelas 6 perkalian 5 pun tak hapal. Lebih parah lagi PEMBAGIAN tak paham. Lalu gue harus ngajarin gimana caranya, untuk materi PECAHAN yang pasti pake perkalian, pembagian, FPB dan KPK pula? Pedang mana pedang? Mau harikiri aja.
Tak mau kalah membuat gue tambah menderita, gue diminta jadi guru Trobosan (persiapan materi UN) untuk anak kelas 6. Bisa bayangin perasaan gue saat ini? Dengan niat dan semangat belajar mereka yang minim membuat gue sangat pesimis akan kelulusan mereka. Sumpah mau nangis rasanya. Gue yang dilemma sendiri, sementara mereka mah kadang gak sadar kalau mereka bisa saja gak lulus SD.
Pertahanan gue pun pecah. Gue ngamuk-ngamuk di kelas saat Trobosan. Emosi gue udah tak tertahankan lagi. Gue marah karena mereka tak paham-paham juga, mereka sudah ingin pulang sebelum waktunya, belum lagi mereka malah main di kelas, ada anak yang loncat-loncat bikin pocong-pocongan, ngejahilin temen di sebelahnya pake karet. Gue meledak dan mengeluarkan ultimatum “Kalian itu bisa menghargai orang lain tidak? Apa perlu ibu marah-marah seperti ini setiap hari?” DWAAAR, suasana hening. Mereka terdiam melihat gue meledak. Tanpa babibu, gue keluar kelas dan pulang tanpa memedulikan mereka.
Gue balik ke rumah, mengambil kertas bekas, pensil warna dan speaker musik. Gue butuh refreshing. Gue berjalan ke pantai. Kebetulan samping rumah gue langsung pantai. Gue duduk di pondasi batas pantai. Memandang biru tosca-nya laut cina selatan. Gue menghidupkan speaker untuk menghidupkan suasana nyaman. Rasa penat dan jengkel rasanya hilang seketika. Saat gue mau ambil pensil warna yang berada di sebelah kanan gue, pandangan gue jatuh pada Alwi anak kelas 3 sedang berjongkok di bawah pondasi tanpa ekspresi. Gue berpikir panjang, ngapain ya dia sendirian di sana? Apa dia sedang main sendiri, tapi kok gak ada ekspresi. Apa dia lagi cari kerang, tapi kok menghadapa pondasi, bukan cari di pasir pantai.
Gue pun bertanya pada Alwi, “Alwi lagi ngapain?” Ia sepertinya dari tadi tidak sadar kehadiran gue.
“berak, bu.” jawabnya polos.
Gue cuma terperanjat mendengar perkataannya. Lagu yang dikeluarkan dari speaker seolah menghilang. Tiba-tiba semua menjadi hening, ombak di pantai tak lagi bergulung. Gue berusaha mencerna perkataanya. WHAT?! BERAK? DI PINGGIR PANTAI? Alamak!
“OH, hehehe. Ibu balik dulu ya Alwi,” jawab gue lemes. Mood gue langsung ancur seketika.

08/01/16

khasnya Natuna Part 1



Welcome to the, Natuna..!
Yuhuu, kali ini gue akan membahas beberapa makanan daerah di Natuna. Sebagain besar makanan di daerah ini bahan bakunya adalah sagu, umbi-umbian dan ikan. Misalnya ada  tabel mando, kernas, biscuit manis, pedik, ketan ubi, ketupat ikan dan masih banyak lagi. Minumannya  berbagai macam, seperti hari Jumat kemarin gue nyobain minuman yang namanya Bubur Jawi? Tau tak, itu apa? Sumpah rasanya enak banget. ~
Eh bentar deh, kalian tau Natuna gak? Jangan-jangan gue udah cerita macem-macem tentang Natuna tau-taunya pada gak paham Natuna itu apa dan ada dimana. Natuna itu adalah sebuah kabupaten yang terdiri dari beberapa pulau-pulau. Pulau besarnya adalah Bunguran. Natuna dulu lebih dikenal dengan nama pulau tujuh. Karena terdiri dari 7 pulau, yang salah satunya adalah Pulau Anambas yang kini telah berdiri sendiri menjadi sebuah kabupaten baru. Natuna sendiri adalah salah satu kabupaten di Indonesia yang terletak di perbatasan Laut Cina Selatan. Atau dengan kata lain merupakan daerah paling utara Indonesia.

Oke, balik lagi ke makanan khas daerah di sana. Gue sendiri dari semua makanan daerah, baru sedikit yang dicoba guys. #sedih. Gue baru nyobain kernas, biscuit manis, ketan ubi, ketupat ikan dan bubur jawi. Dan, percaya lah semuanya ENAK BANGET!!!!
Yang pertama Kernas,

Kernas ini terbuat dari sagu bulat, ikan dan campuran tepung kanji. Rasanya sekilas seperti pempek kulit ikan. Teksturnya cruncy, ketika digigit kenyal, rasanya khas ikan, dan di dalamnya bewarna abu-abu khas bubur ikan. Di makan dengan bumbu sambal yang gak kalah spicy dan manis. Ini dia kernas.


Yang kedua Biskuit manis,
Gue gak tau deh ini makanan khas Natuna, atau hasil bikinan ibu-ibu kreatif di Natuna. Ini isinya biscuit susu marrie (ituloh, kalau merek terkenalnya, marrie rega*, sorry kalau sedikit bawa merek, abis takutnya kalian gak tau biskuit susu marrie itu apa. *ditabok pembaca* bhahaha. Lanjut lagi, biskuit susu marrie ini kemudian dilapisi gula merah dan di atasnya ditaburi mihun yang telah di goreng. Rasanya, manis, cruncy dan sedikit menempel di gigi ketika digigit. Voila, ini dia biskuit manis.



Yang ke tiga ketan ubi,
Aduh yang ini gue gak punya fotonya. Padahal gue sering banget ini di kasih ini sama Ibu Mar (istri kepala sekolah). Hmm, kayak ketan yang dalamnya isi daging yang biasanya dilipat pakai daun pisang tau gak? Nah kalau ini ketannya terbuat dari ubi ( ubi di sini maksudnya ubi jalar yang artinya adalah singkong) di dalamnya berisi ikan tongkol pedas. Dibungkus dengan daun dan dibakar. Rasanya ituloh menggugah selera~ Apalagi kalau habis dibakar panas-panas. Wow, aroma dan rasanya eksotis banget. Khas, makanan yangdibakar.

Yang ke empat adalah ketupat ikan.
Hampir sama dengan ketupat-ketupat lainnya, namun ukurannya lebih kecil. Ketupat ini kemudian dibelah tengah dan diberikan hancuran ikan tongkol pedas. Rasanya enak banget, ini entah gue yang emang doyan ikan apa gimana. Bhahahaha. Ya, makan 2 ketupat cukup lah untuk mengganjal perut dipagi hari. Yaiyalah, orang 2 ketupat! Harap dimaklumi aja ya, badan gue kan gede. :P

Yang ke lima adalah bubur Jawi.
Ini adalah salah satu minuman khas daerah di Natuna. Gue nyoba makanan ini pas acara tradisional, ulang tahun pernikahan salah satu warga di Desa Ceruk.  Rasanya enak, seperti kolak pisang, dengan ada aroma khas jahe. Di dalamnya ada butiran-butiran Jawi yang telah dihancurkan. Setelah gue coba mengunyah jawi yang telah dihancurkan indra perasa di mulut gue mulai mendeskripsikan bahwa sepertinya jawi ini adalah barley. Entahlah, soalnya teksturnya cukup mirip, apalagi kalau dari penjelasan Bu Mar yang mengatakan Jawi itu semacam padi-padian berukuran kecil dan terdiri dari beberapa lapis pembungkus sebelum mencapai inti biji. Kalau memang benarkan lumayan gak usah import barley ke luar, cukup ke Natuna aja. :D
Uniknya bubur Jawi ini. Memerlukan waktu yang cukup lama untuk proses pembuatannya. Terutama bagian si biji jawi yang akan dibuat bubur. Jawi harus dikeringan terlebih dulu di matahari. Setelah kering, jawi dioseng-oseng. Hingga kulit luarnya ketika dipegang bisa terkelupas dan bijinya terlepas. Setelah itu ditumbuk dan dicampur dengan santan, jahe dan gula manis. Voila, jadilah bubur jawi! Meskipun bentuknya telihat biasa saja, tapi soal rasa boleh diadu~

24/12/15

TRAGEDI CAIRAN PEMBERSIH

“Eh, ada yang pingsan loh, ada yang pingsan!” bisik beberapa orang di samping gue, saat sampai di ruang pertemuan diacara KBB (kegiatan belajar dan bermain).
 Perkataan itu cukup membuat gue penasaran. Siapa yang pingsan? Anak SD yang kunjungan KBB ada yang sampai pingsan? Kenapa? Kecapean? Atau siapa yang pingsan? Anak SD nya? Atau salah satu teman seangkatan yang pingsan? Baru juga 3 minggu gue di pelatihan sudah ada berita heboh aja.
Kejadian tragis itu terjadi di Sabtu siang minggu ke-3. Pada pagi hari euphoria dipelatihan cukup campur aduk, ada yang bahagia ada juga yang terlihat muram. Mungkin karena pagi hari itu diumumkan daerah penempatan. Belum selesai euphoria itu kami sudah harus mengurus anak-anak diacara kegiatan belajar dan bermain (KBB) yang kami buat.
 Gue kemudian meminta beberapa siswa yang gue damping untuk duduk agar gue lebih tau jelasnya tentang kejadian ini. Kebetulan gue jadi pendamping kelompok untuk anak-anak kelas 1 dan 2.  Gue yang penasaran kemudian ikut nimbrung pembicaraan yang lumayan ramai itu. Usut punya usut ada yang meminum cairan pembersih.
Setelah gue kelola lebih dalam lagi pembicaraan yang cukup histeria ini, ternyata yang minum cairan pembersih adalah oknum L, salah satu teman gue di pelatihan. Wow, pikiran gue bekerja. Oknum L ini kenapa? Apakah dia stress mendapat daerah penempatan yang tak sesuai, lalu melakukan tindakan di luar nalar? Atau ada jin iprit yang membisikkan oknum L untuk minum cairan pembersih tersebut? Atau kalian ada yang bisa beri tahu gue?
Setelah selesai KBB, gue balik ke barak. Di barak, masih ramai dibicarakan tentang oknum L. Tanpa rasa bersalah gue masuk barak dan ke kamar mandi. Setelah keluar, kamar mandi, oknum A, salah satu temen di pelatihan menjerit-jerit, “Ini, nih yang di minum si oknum L, parah-parah ini dikira fres*t*a. siapa sih yang taruh cairan pembersih di botol fres*t*a ini?”
Perhatian gue teralih oleh perkataan si oknum A. Dwaaar, seperti ada besi tua yang menempeleng kepala gue. Itu kan punya gue. Sebotol pencuci piring yang biasanya gue letakan di lemari gue. Setengah tidak yakin, gue semakin mendekat, di sebelahnya masih tergeletak piring dan sendok kotor yang gue yakin punya gue. Karena satu-satunya orang yang cuci piring di barak itu hanya gue, yang lainnya dicuciin oleh petugas catering. Damn! Kali ini mau siapa lagi yang disalahkan?
Perasaaan gue, sebelum acara KBB gue sudah mencuci piring kotor itu. Tapi ternyata, memang pengarang sejati daya hayalnya tinggi banget ye. ( Belum menyuci piring aja udah berasa nyuci piring. Salahnya kejadiin ini hingga menelan korban. Sumpah gue merasa bersalah abis. Kalau oknum L, kenapa-kenapa gimana?
Tidak berapa lama, oknum L kembali ke barak, dengan muka masih terlihat sayu. Dia bilang dia sudah diberi obat penetral, namun dia masih merakan busa-busa sabun di sela-sela tenggorokkannya. Tuhan, ampuni saya! Saya melakukan segala daya upaya untuk membuatnya cepat kembali sembuh, dengan memberikannya susu UHT putih. Oknum L ini cuma merasa senang saat saya tawarkan sekotak susu UHT, dia belum tau siapa penyebab kejadian tragis kala itu. Ampuni saya, Oknum L. sungguh, saya tidak bermaksud apa-apa. :(