08/02/16

Dan Pantai Pun Terdiam


Kejadian ini bermula ketika…..
gue mulai penat dengan keadaan di desa tempat gue tinggal sekarang. Setelah sebelumnya gue di sarankan sebagai guru SBK (seni  budaya dan keterampilan) atau bahasa Inggris. Gue lebih memilih sebagai guru SBK, piker gue, yaelah kalau gambar mah gue bisa lah. Jengjeng, pas buka kurikulum dan masuk Kompetensi  dasar gue langsung pening. SBK setiap kelas harus ada materi seni rupa, kerajinan tangan, musik dan tari. Cailah, gue mana bisa nari. Nyanyi? Ya allah, udah banyak korban yang meyakinin kalau suara gue eksotis atau dengan kata lain bikin kuping orang pengang. Diperparah lagi tidak ada alat musik sedikitpun. Terus gue macem mana lagi ngajarin anak SD itu? Oke, curhatnya udahan aja ya. #dusta
Akhirnya gue diminta mengajarkan matematika. Okelah, gue juga sama dodolnya kalau belajar matematika. Seenggaknya matematika itu hanya angka yang bisa dihitung dengan berbagai macam cara. Oke, masuk ke kelas 5, its okay, mungkin karena jumlah muridnya hanya 5 orang. Masuk ke kelas 6, gue mulai desperate. Kalau gue kemarin-kemarin mulai percaya tidak ada orang yang bodoh dan orang yang pintar yang ada hanya orang malas dan orang rajin. Sekarang gue, mulai gak yakin dengan pemikiran itu. Anak kelas 6 perkalian 5 pun tak hapal. Lebih parah lagi PEMBAGIAN tak paham. Lalu gue harus ngajarin gimana caranya, untuk materi PECAHAN yang pasti pake perkalian, pembagian, FPB dan KPK pula? Pedang mana pedang? Mau harikiri aja.
Tak mau kalah membuat gue tambah menderita, gue diminta jadi guru Trobosan (persiapan materi UN) untuk anak kelas 6. Bisa bayangin perasaan gue saat ini? Dengan niat dan semangat belajar mereka yang minim membuat gue sangat pesimis akan kelulusan mereka. Sumpah mau nangis rasanya. Gue yang dilemma sendiri, sementara mereka mah kadang gak sadar kalau mereka bisa saja gak lulus SD.
Pertahanan gue pun pecah. Gue ngamuk-ngamuk di kelas saat Trobosan. Emosi gue udah tak tertahankan lagi. Gue marah karena mereka tak paham-paham juga, mereka sudah ingin pulang sebelum waktunya, belum lagi mereka malah main di kelas, ada anak yang loncat-loncat bikin pocong-pocongan, ngejahilin temen di sebelahnya pake karet. Gue meledak dan mengeluarkan ultimatum “Kalian itu bisa menghargai orang lain tidak? Apa perlu ibu marah-marah seperti ini setiap hari?” DWAAAR, suasana hening. Mereka terdiam melihat gue meledak. Tanpa babibu, gue keluar kelas dan pulang tanpa memedulikan mereka.
Gue balik ke rumah, mengambil kertas bekas, pensil warna dan speaker musik. Gue butuh refreshing. Gue berjalan ke pantai. Kebetulan samping rumah gue langsung pantai. Gue duduk di pondasi batas pantai. Memandang biru tosca-nya laut cina selatan. Gue menghidupkan speaker untuk menghidupkan suasana nyaman. Rasa penat dan jengkel rasanya hilang seketika. Saat gue mau ambil pensil warna yang berada di sebelah kanan gue, pandangan gue jatuh pada Alwi anak kelas 3 sedang berjongkok di bawah pondasi tanpa ekspresi. Gue berpikir panjang, ngapain ya dia sendirian di sana? Apa dia sedang main sendiri, tapi kok gak ada ekspresi. Apa dia lagi cari kerang, tapi kok menghadapa pondasi, bukan cari di pasir pantai.
Gue pun bertanya pada Alwi, “Alwi lagi ngapain?” Ia sepertinya dari tadi tidak sadar kehadiran gue.
“berak, bu.” jawabnya polos.
Gue cuma terperanjat mendengar perkataannya. Lagu yang dikeluarkan dari speaker seolah menghilang. Tiba-tiba semua menjadi hening, ombak di pantai tak lagi bergulung. Gue berusaha mencerna perkataanya. WHAT?! BERAK? DI PINGGIR PANTAI? Alamak!
“OH, hehehe. Ibu balik dulu ya Alwi,” jawab gue lemes. Mood gue langsung ancur seketika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar