Kejadian ini bermula ketika…..
gue mulai penat
dengan keadaan di desa tempat gue tinggal sekarang. Setelah sebelumnya gue di
sarankan sebagai guru SBK (seni budaya
dan keterampilan) atau bahasa Inggris. Gue lebih memilih sebagai guru SBK,
piker gue, yaelah kalau gambar mah gue bisa lah. Jengjeng, pas buka kurikulum
dan masuk Kompetensi dasar gue langsung
pening. SBK setiap kelas harus ada materi seni rupa, kerajinan tangan, musik
dan tari. Cailah, gue mana bisa nari. Nyanyi? Ya allah, udah banyak korban yang
meyakinin kalau suara gue eksotis atau dengan kata lain bikin kuping orang
pengang. Diperparah lagi tidak ada alat musik sedikitpun. Terus gue macem mana
lagi ngajarin anak SD itu? Oke, curhatnya udahan aja ya. #dusta
Akhirnya gue
diminta mengajarkan matematika. Okelah, gue juga sama dodolnya kalau belajar
matematika. Seenggaknya matematika itu hanya angka yang bisa dihitung dengan
berbagai macam cara. Oke, masuk ke kelas 5,
its okay, mungkin karena jumlah muridnya hanya 5 orang. Masuk ke kelas 6, gue
mulai desperate. Kalau gue
kemarin-kemarin mulai percaya tidak ada orang yang bodoh dan orang yang pintar
yang ada hanya orang malas dan orang rajin. Sekarang gue, mulai gak yakin
dengan pemikiran itu. Anak kelas 6 perkalian 5 pun tak hapal. Lebih parah lagi
PEMBAGIAN tak paham. Lalu gue harus ngajarin gimana caranya, untuk materi
PECAHAN yang pasti pake perkalian, pembagian, FPB dan KPK pula? Pedang mana
pedang? Mau harikiri aja.
Tak mau kalah
membuat gue tambah menderita, gue diminta jadi guru Trobosan (persiapan materi UN) untuk anak kelas 6. Bisa bayangin
perasaan gue saat ini? Dengan niat dan semangat belajar mereka yang minim
membuat gue sangat pesimis akan kelulusan mereka. Sumpah mau nangis rasanya.
Gue yang dilemma sendiri, sementara mereka mah kadang gak sadar kalau mereka
bisa saja gak lulus SD.
Pertahanan gue
pun pecah. Gue ngamuk-ngamuk di kelas saat
Trobosan. Emosi gue udah tak tertahankan lagi. Gue marah karena mereka tak
paham-paham juga, mereka sudah ingin pulang sebelum waktunya, belum lagi mereka
malah main di kelas, ada anak yang loncat-loncat bikin pocong-pocongan,
ngejahilin temen di sebelahnya pake karet. Gue meledak dan mengeluarkan
ultimatum “Kalian itu bisa menghargai orang lain tidak? Apa perlu ibu
marah-marah seperti ini setiap hari?” DWAAAR, suasana hening. Mereka terdiam
melihat gue meledak. Tanpa babibu, gue keluar kelas dan pulang tanpa
memedulikan mereka.
Gue balik ke
rumah, mengambil kertas bekas, pensil warna dan speaker musik. Gue butuh
refreshing. Gue berjalan ke pantai. Kebetulan samping rumah gue langsung
pantai. Gue duduk di pondasi batas pantai. Memandang biru tosca-nya laut cina
selatan. Gue menghidupkan speaker untuk menghidupkan suasana nyaman. Rasa penat
dan jengkel rasanya hilang seketika. Saat gue mau ambil pensil warna yang
berada di sebelah kanan gue, pandangan gue jatuh pada Alwi anak kelas 3 sedang
berjongkok di bawah pondasi tanpa ekspresi. Gue berpikir panjang, ngapain ya
dia sendirian di sana? Apa dia sedang main sendiri, tapi kok gak ada ekspresi.
Apa dia lagi cari kerang, tapi kok menghadapa pondasi, bukan cari di pasir
pantai.
Gue pun bertanya
pada Alwi, “Alwi lagi ngapain?” Ia sepertinya dari tadi tidak sadar kehadiran
gue.
“berak, bu.”
jawabnya polos.
Gue cuma
terperanjat mendengar perkataannya. Lagu yang dikeluarkan dari speaker seolah
menghilang. Tiba-tiba semua menjadi hening, ombak di pantai tak lagi bergulung.
Gue berusaha mencerna perkataanya. WHAT?! BERAK? DI PINGGIR PANTAI? Alamak!
“OH, hehehe. Ibu
balik dulu ya Alwi,” jawab gue lemes. Mood
gue langsung ancur seketika.