27/10/16

Kakak-Kakak Berbaju Putih

Kakak-kakak berbaju putih datang ke sekolah dengan sebuah motor. Ini tentu bukan kawanan TNI yang sedari bebera minggu lalu berdatangan dari penjuru arah menuju desa. Kakak-kakak itu kemudian menghampiri dan menunjukkan keperluannya melalu sebuah surat kepada Pak Di. Entah apa yang pasti Pak Iwan menemani kakak-kakak berbaju putih itu menuju ruang kelas satu.
Kakak-Kakak Berbaju Putih
Anak-anak kelas satu melihat kakak-kakak berbaju putih itu dengan penuh tanda tanya. Beberapa anak dari kelas atas yang sedang istirahat lari tunggang-langgang melihat kakak-kakak berbaju putih. Beberapa dari mereka juga berbisik-bisik menceritakan pengalamannya saat bertemu dengan kakak berbaju putih. Pengalaman yang tak kalah seramnya ketika bertemu dengan kuntil anak atau hantu banyu.

                “Bu, anak kelas 4 ndesek suntek kan bu?”
                “Bu, ami ndesek suntek kan bu?” tanya anak kelas tiga mengerubuni saya.
Hmm, saya akhirnya tau kakak berbaju putih itu datang untuk melakukan imunisasi suntuk campak dan TBC. Pak Iwan selaku wali kelas tiga menenangkan bahwa anak kelas tiga tidak akan disuntik. Seingat saya dulu saya disuntuk hingga kelas tiga SD, entahlah.




Pak Iwan yang Berusaha Menenangkan



                “Bu, Siska takut disuntek bu. Ami ndek nak!” ucap Siska murid kelas tiga ketakutan. Meskipun ketakutan Siska tetap saja mengikuti kakak-kakak berbaju putih itu mulai dari kelas satu lalu ke kelas dua. Siska mengintip dari luar jendela kelas.
Siska yang sedang di bujuk
                Ketakutan mulai meraja-lela ketika ternyata kakak-kakak berbaju putih ini pergi dari ruang kelas dua menuju ruang kelas tiga. Siska menjerit-jerit ketakutan tapi tetap saja masuk ke dalam ruang kelas  karena disuruh Pak Iwan. Murid-murid kelas tiga di panggil satu persatu. Ekspresi mereka berbeda-beda ada yang terlihat  kuat, ada yang ketakutan, ada yang malah ketawa-ketawa bahagia tidak disuntuk kerena usianya sudah di atas 10 tahun. Hanya satu yang sama yaitu wajah setelah disuntik. Lemas, pucat pasi, tak banyak bicara dan tangan kanan memegang tangan kiri. Persis seperti kelinci percobaannya yang awalnya loncat-loncat gelisah karena akan jadikan bahan percobaan namun setelah disuntik akan menjadi lebih pendiam.

Suana Pias di kelas tiga

Melihat murid-murid lemas saya tidak tinggal dia. setidaknya saya harus memberikan semangat pada mereka. Saya berpikir sejenak hingga akhinya saya memilih untuk bertepuk tangan pada murid yang telah disuntik.
Tata yang Bahagia Tidak disuntik

                “Bisou, nde?” tanya saya pada murid kelas satu.
                “Nde, bu!”
                “Tos, dulu kalau begitu..!” ucap saya mengeluarkan kelima jari tangan kanan saya.
Murid-murid yang tadinya bermuka lemas mulai bisa tersenyum, membalas tangan saya, meski saya tau mereka masih menahan sakit. Eva murid kelas dua mendatangi saya yang sedari tadi menghampiri murid-murid yang telah di suntik.
                “Hai Eva. Bahal nangis kondo?”
                “Bisou bu,”

              “Sikit je. Tos dulu sama ibu biar nde bisou,” saya tersenyum sambil sekali lagi mengeluarkan ke lima jari tangan kanan saya. “Eva nde boleh sedih lagi. Eva nak jadi dokter kan? bahal nak suntek anak-anak nanti?”         


Kosa kata: 
ndesek suntek : tidak di suntik
ami : kami atau biasanya di sini berarti saya.
Bisou, nde : sakit ga?
Nde : tidak
Bahal nangis kondo : kenapa menangis seperti itu?
Bisou : bisa
Sikit je : sedikit aja
 nak : mau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar