Akhir-akhir ini warga
Indonesia diresahkan dengan kondisi alam yang tidak dapat ditebak. Hujan terus
menerus mengguyur daerah Jakarta dan Bandung dari pertengahan September lalu. Hujan
sempat terhenti beberapaminggu, namun akhir-akhir ini hujan deras semakin
merajarela. jika beberapa bulan yang lalu banjir hanya melanda ibukota kali ini
sebagian daerah Bandung pun ikut terendam. Rumah saya sendiri yang tertetak di
perbatasan Jakarta Selatan dan Tangerang Selatan tidak terkena dampak banjir. Tetapi
jika ditanya apakah rumah saya ikut tergenang air maka saya dengan pasti
menjawab, Ya.
Rumah yang telah saya
tempati dari kecil, kini bocor di beberapa bagian. Yang paling parah adalah loteng
kamar kakak saya hingga bolong dan setengah rubuh karena hujan angin yang mendera
rumah saya. Semua penghuni rumah terutama orang tua saya mengeluh karena tidak
punya penghasilan lebih untuk memperbaikinya. Jika keluarga saya mengeluh
bagaimana dengan keluarga lain yang rumahnya benar-benar terendam banjir?
Bicara soal mengeluh,
saya hanya tersenyum. Saya akui saya juga letih dengan hujan yang terus
mengguyur. Tapi bukankan Tuhan menciptakan manusia bukan hanya untuk mengeluh
tapi juga untuk bersyukur?
Ironisnya ketika Jakarta
dan Jawa Barat terkepung oleh hujan sebagian besar wilayah Sumatra terkepung
asap. Jauh sebelum kasus kebakaran hutan di Riau terdengar, sebulan lalu saya
sudah di sambut oleh panasnya udara dan gersangnya tanah sertanya hitamnya pepohonan
di sekitar jalan raya saat saya berkunjung ke Kepulauan Riau (Pulau Batam dan
Pulau Bintan). Eits, saya tidak sedang membicarakan
Riau yang saat ini ramai dibicarakan tentang kasus kebakaran hutan yang diduga
adanya oknum-oknum tertentu. Saya sedang membicarakan Kepulauan Riau! Saat itu saya
baru sampai di pelabuhan nongsapura (Batam) menuju Pelabuhan pungur (Batam)
untuk dapat menyeberang ke Pulau Bintan (Tanjung Pinang). Saya sempat bertanya
kepada Pak Mahmud (kalau tidak salah) saal seorang supir bluebird di Batam, apakah sempat terjadi kebakaran di daerah ini. Beliau
hanya tersenyum kecil, menurutnya kebakaran ini sudah biasa karena sudah hampir dua bulan lebih Batam tidak diguyur
hujan. Semakin panasnya kebaran pun sering terjadi. menurut Pak Mahmud juga api
sering hidup sendiri kemudian mati ketika sudah habis membakar pohon atau
tertiup angin.
Saya kala itu tidak
percaya dengan pernyataan pak Mahmud sampai saya temui sendiri kejadian
nyatanya di Pulau Bintan. Saat itu saya sedang perjalanan dari Tanjung Pinang
menuju Pantai Trikora. Di tengah perjalan ada asap tebal yang mengepung jalanan
sepi itu api kecil terus berkobar. Daerah itu cukup sepi sehingga tidak ada
orang yang berlalu lalang dan tidak ada yang peduli dengan kebaran itu. Seperti
Pak Mahmud bilang kebakaran itu sepertinya sudah menjadi rutinitas di sana
hampir dua bulan lebih.
![]() |
Pamandangan saat memasuki asap sisa kebakaran (Dokumentasi Pribadi) |
![]() |
Lokasi kebakaran ini terlatak dekat dengan pantai (Dokumentasi Pribadi) |
![]() |
saya tak sanggup jika suatu saat nanti saya mendengar Pantai Trikora ini terbakar (Dokumentasi Pribadi) |
Sudah begitu haruskah
saya mengeluh tentang keadaan keluarga saya ataupun tentang ibu kota yang terus
di guyur hujan? Bukankah saya seharusnya bersyukur masih merasakan dinginya
udara dan tumpah ruahnya air? Sementara sebagain daerah seperti kepulauan Riau
kekurangan air? Bukankah saya harusnya bersyukur masih bisa bernafas dengan
sehat tanpa adanya abu sisa-sisa erupsi yang harus dihirup warga di sekitar
Gunung Kelud ataupun Gunung Slamet?
Well, percayalah seberapa susahnya kita saat ini, seberapa tidak mampunya kita
saat ini, seharusnya kita tidak mengeluh, seharusnya kita bersyukur karena
Tuhan masih memberikan karunianya yang begitu besar. Kita terkadang lupa akan
hal itu dan cenderung meperbesar-besarkan keluhan sehingga karunia Tuhan yang
lainnya terlupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar