17/03/14

Kita Sering Lupa untuk Bersyukur *Singapore-Tanjung Pinang-Batam Part 4*

            
Akhir-akhir ini warga Indonesia diresahkan dengan kondisi alam yang tidak dapat ditebak. Hujan terus menerus mengguyur daerah Jakarta dan Bandung dari pertengahan September lalu. Hujan sempat terhenti beberapaminggu, namun akhir-akhir ini hujan deras semakin merajarela. jika beberapa bulan yang lalu banjir hanya melanda ibukota kali ini sebagian daerah Bandung pun ikut terendam. Rumah saya sendiri yang tertetak di perbatasan Jakarta Selatan dan Tangerang Selatan tidak terkena dampak banjir. Tetapi jika ditanya apakah rumah saya ikut tergenang air maka saya dengan pasti menjawab, Ya.

Rumah yang telah saya tempati dari kecil, kini bocor di beberapa bagian. Yang paling parah adalah loteng kamar kakak saya hingga bolong dan setengah rubuh karena hujan angin yang mendera rumah saya. Semua penghuni rumah terutama orang tua saya mengeluh karena tidak punya penghasilan lebih untuk memperbaikinya. Jika keluarga saya mengeluh bagaimana dengan keluarga lain yang rumahnya benar-benar terendam banjir?

Bicara soal mengeluh, saya hanya tersenyum. Saya akui saya juga letih dengan hujan yang terus mengguyur. Tapi bukankan Tuhan menciptakan manusia bukan hanya untuk mengeluh tapi juga untuk bersyukur?

Ironisnya ketika Jakarta dan Jawa Barat terkepung oleh hujan sebagian besar wilayah Sumatra terkepung asap. Jauh sebelum kasus kebakaran hutan di Riau terdengar, sebulan lalu saya sudah di sambut oleh panasnya udara dan gersangnya tanah sertanya hitamnya pepohonan di sekitar jalan raya saat saya berkunjung ke Kepulauan Riau (Pulau Batam dan Pulau Bintan).  Eits, saya tidak sedang membicarakan Riau yang saat ini ramai dibicarakan tentang kasus kebakaran hutan yang diduga adanya oknum-oknum tertentu. Saya sedang membicarakan Kepulauan Riau! Saat itu saya baru sampai di pelabuhan nongsapura (Batam) menuju Pelabuhan pungur (Batam) untuk dapat menyeberang ke Pulau Bintan (Tanjung Pinang). Saya sempat bertanya kepada Pak Mahmud (kalau tidak salah) saal seorang supir bluebird di Batam, apakah sempat terjadi kebakaran di daerah ini. Beliau hanya tersenyum kecil, menurutnya kebakaran ini sudah biasa karena  sudah hampir dua bulan lebih Batam tidak diguyur hujan. Semakin panasnya kebaran pun sering terjadi. menurut Pak Mahmud juga api sering hidup sendiri kemudian mati ketika sudah habis membakar pohon atau tertiup angin.

Saya kala itu tidak percaya dengan pernyataan pak Mahmud sampai saya temui sendiri kejadian nyatanya di Pulau Bintan. Saat itu saya sedang perjalanan dari Tanjung Pinang menuju Pantai Trikora. Di tengah perjalan ada asap tebal yang mengepung jalanan sepi itu api kecil terus berkobar. Daerah itu cukup sepi sehingga tidak ada orang yang berlalu lalang dan tidak ada yang peduli dengan kebaran itu. Seperti Pak Mahmud bilang kebakaran itu sepertinya sudah menjadi rutinitas di sana hampir dua bulan lebih.

Pamandangan saat memasuki asap sisa kebakaran  (Dokumentasi Pribadi)

Lokasi kebakaran ini terlatak dekat dengan pantai (Dokumentasi Pribadi)


saya tak sanggup jika suatu saat nanti saya mendengar Pantai Trikora ini terbakar  (Dokumentasi Pribadi)
 

Sudah begitu haruskah saya mengeluh tentang keadaan keluarga saya ataupun tentang ibu kota yang terus di guyur hujan? Bukankah saya seharusnya bersyukur masih merasakan dinginya udara dan tumpah ruahnya air? Sementara sebagain daerah seperti kepulauan Riau kekurangan air? Bukankah saya harusnya bersyukur masih bisa bernafas dengan sehat tanpa adanya abu sisa-sisa erupsi yang harus dihirup warga di sekitar Gunung Kelud ataupun Gunung Slamet?

Well, percayalah seberapa susahnya kita saat ini, seberapa tidak mampunya kita saat ini, seharusnya kita tidak mengeluh, seharusnya kita bersyukur karena Tuhan masih memberikan karunianya yang begitu besar. Kita terkadang lupa akan hal itu dan cenderung meperbesar-besarkan keluhan sehingga karunia Tuhan yang lainnya terlupakan.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar