Ada yang berbeda
di pagi hari ini. Jam 4.30 pagi sudah banyak
suara Honda1 yang
yang berkeliaran di sepanjang jalan, di samping rumah singgahku. Berbeda
mungkin dengan pengalamanku di tahun-tahun sebelumnya. Nyepi identik dengan
kesendirian, merefleksi amal perbuatannya selama 1 tahun berselang, diiringi
dengan berpuasa satu hari penuh bagi umat Hindu. Itulah yang biasanya aku
rasakan saat libur hari raya Nyepi, kebetulan beberapa temanku beragama Hindu.
Akan tetapi hari ini, ketika aku tinggal di Pengadah-Natuna, semua tampak
berbeda, mungkin karena hampir 100% penduduknya muslim.
Pukul 6 pagi
ini, disekitar rumahku sudah ramai oleh suara murid-murid. “Ibu, Ibu..!”
beberapa diantara mereka memanggilku dari luar rumah. Padahal aku baru saja selesai
membersihkan rumah yang seperti kapal pecah. Ya, sehari sebelum tanggal 9 Maret
ini. Rumah singgahku penuh dikunjungi murid-murid. Ada yang sengaja datang
untuk membuat surat pena ke beberapa SD di Natuna ada pula yang datang untuk
membuat teropong matahari. Hari ini, meskipun bertepatan dengan hari libur
nasional hari raya nyepi, tidak menyurutkan minat murid-murid di SD Pengadah
untuk melihat gerhana matahari. Iya, gerhana matahari yang tidak selalu ada
tiap tahunnya. Di daerah kepulauan Natuna, terutama Pengadah, gerhana matahari
maksimum hanya sebesar 86%.
Aku keluar dari
rumah menuju sekolah. Kebetulan jaraknya tidak begitu jauh. Murid-murid
menghampiriku. Aku memandang langit sejenak. Awan pekat memenuhi langit pagi
itu, matahari terbit dengan malu-malu. Ada perasaan takut yang menghantui, bagaimana jika gerhana matahari tidak tampak?
Murid-murid memburuku
dengan pertanyaaan yang sama, “Mana bu,
gerhananya, mana?”
Aku hanya tersenyum kecut, segala
persiapanku nampaknya akan percuma. Rencana moderasi yang kubuat dengan pos-pos
media melihat gerhana, dan juga soal-soal perkalian dan pembagian yang kubuat
di pos pengamatan seakan hanya menjadi kekecewaan belaka. Aku berjalan ke
sekolah masih dengan berusaha tersenyum riang, walau hatiku sangat khawatir.
Aku
sampai di sekolah dengan pintu gerbang masih tertutup rapat, kepala sekolah dan
satu guru yang berjanji hadir belum juga datang. Ada perasaan cemas yang bukan
main, takut usaha murid untuk membuat media teropong dari dua hari yang lalu
akan sia-sia. Belum lagi jika saat Pak Syah kepala UPTD dan Ibu Rus Pengawas
yang berjanji hadir datang, dan ternyata gerhana matahari tidak tampak? Malu,
pastinya.
Aku
mencoba melakukan beberapa pemetaan mengenai pos-pos permainan yang akan dibuat
di sekolah, untuk menghilangkan kegelisahanku. Sayangnya dari sekolah, matahari
tidak tampak terlihat tertutup pohon kelapa yang cukup banyak. Aku kemudian
mencoba keluar menuju tepi pantai, murid-murid mengikutiku dari belakang tanpa
kuminta, seolah masih bertanya mana yang namanya gerhana matahari.
Kuputuskan
untuk mengalakukan pengamatan di tepi pantai agar murid-murid dapat melihat
secara jelas gerhana matahari. Awan pekat masih menghalangi matahari, hanya
bias cahaya matahari yang memantul di ujung timur pantai. Waktu terus berputar,
namun tidak ada seorang pun lagi yang datang kesekolah. Menambah pekatnya
energi negatif yang kukeluarkan.
Jam 06.43 WIB,
mobil Pak Mat, kepala sekolahku melaju ke arah sekolah lalu berlalu. Aku cukup
kebingungan mengapa Pak Mat malah berlalu? Ternyata Pak Mat memberhentikan
mobilnya di depan rumah singgahku. Aku melihat dari kejauhan beliau keluar dari
mobilnya sendiri. Tak ada Pak Syah, ataupun Ibu Rus yang kemarin sempat
berjanji akan hadir ke sekolah. Rasa kekecewaanku semakin menumpuk. Yasudahlah,
sing penting aku sudah berusaha
melakukan tugas yang diberikan padaku.
Aku
kemudian menghampiri kepala sekolah. “Pak, Pak Syah tidak pergi bersama bapak?”
tanyaku saat saya sudah berada di dekat Pak Mat.
“Tidak
bu, kemari izin tidak jadi hadir. Ada keperluan di pinang,”
“Oh….,
kalau Bu Rus?”
“Ibu
Rus sudah susah untuk berjalan, buk. Kakinya masih bengkak,” jawab Pak Mat.
Selalu, selalu alasan yang sama. “Bu, pengamatannya di sini saja bu. Kalau di
sekolah tidak terlihat Bu. Langitnya berawan pula Bu. Entah tampak atau tidak
gerhana mataharinya,” tambah Pak Mat. Entah mengapa kali itu benar-benar kecewa.
Sudah! Sudah lupakan saja pos-pos permaian yang telah dibuat dari tadi malam!
Mari tutupi kekecewaan dengan senyum lebar.
Aku mengajak murid-murid ke tepi pantai di
belakang rumah singgahku. Awan masih saja menutupi matahari dan
pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya
down sesekali berbunyi nyaring. ‘Bu,
mana gerhana mataharinyanya, mana, Bu? Mana?’
“Ambil penyapu
di kelas sana, kita sapu awannya,yuk! Supaya tidak menghalangi matahari,”
ucapku menanggapi pertanyaan-pertanyaan dengan bercanda. Bagaimanapun aku harus
berpikir setenang mungkin, aku tidak ingin meledak di depan muridku.
 |
sibuk mencari dimana gerhana matahari |
Sesekali saat
awan berarakan meninggalkan langit, gerhana matahari tampak. Dalam hitungan
menit gerhana matahari tertutup awan lagi. Hal ini terus menerus, namun tidak
menurunkan semangat muridku. Energi posistif kembali mengelilingiku, ketika
melihat mereka bersemangat.
Mereka begitu antusias,
ada yang saling berebutan ingin melihat dengan kacamata khusus gerhana adapula
yang tetap kekeuh menggunakan teropong
yang telah mereka buat meskipun mereka
belum menemukan titik timbul cahaya mataharinya.
“Bu Hani! Keliatan bu, keliatan!” Seru Sahara, salah seorang muridku yang menggunakanan
teropong buatannya.
“Bu, warnanya
merah bu!” jerit Diki menggunakan kacamata khusus gerhana.
“Bukan, bu.
Warna oren. Kayak bulan sabit. Ih, Lawa2
nya!” seru Ine menimpali percakapan Diki.
“Ibu, mau liat
bu, mau liat!” ucap muridku yang tidak kebagian menggunakan kacamata. Maklum
kacamata gerhana yang diberikan padaku hanya berjumlah lima buah. Satu buah
dibawa pulang oleh Pak Darani yang rencananya akan datang namun tidak datang,
satu dipegang oleh Pak Mat dan tiga buah sisanya digunakan secara bergantian
oleh anak murid.
 |
pengamatan dengan kacamata gerhana |
Jeritan bahagia murid-murid
terdengar jelas. Kekewaanku hilang sudah. Keinginan kecilku tercapai sudah.
Sebuah keinginan agar murid-muridku menambah ilmu dan menambah pengalaman
mengenai gerhana matahari.
 |
murid-murid mencoba dengan tropongnya masing-masing
|
Beberapa warga di
sekitar pantai keluar rumah mendengar kehebohan dari anak muridku. Pak Mat
menerangkan secara singkat apa yang sebenarnya sedang terjadi di sekitar
pantai. Beberapa warga yang tadinya takut-takut akan mitos gerhana
matahari-jika keluar rumah akan sakit-akhirnya ikut penasaran dengan bentuk
gerhana matahari yang sesungguhnya. Ditambah pemberitaan di media TV yang tiada
habisnya tentang gerhana matahari, membuat mereka semakin penasaran. Pak Mat
meminjamkan kacamata gerhana yang sedari tadi ia pegang kepada warga.
 |
beberapa warga yang ikut mencoba
|
Sekitar hampir 2
jam berdiri dan berpanas-panasan dipantai murid-murid mulai kelelahan. Topik
mengenai gerhana matahari berubah ketika melihat air pantai sedang surut.
Murid-muridku kemudian terlihat antusias untuk mencari Kuyong3,
latoh4 dan ketam5 atau bahkan hanya sekedar untuk mandi
air asin.
“Bu, mandi air
asin yuk, mandi air asin!” ucap murid kelas 6 yang bernama rasmi.
“Memangnya
kalian bawa baju ganti?” tanyaku.
“Gak apa-apa
buk. Ya bu, ya bu!” ucap Febri tak mau kalah.
Seakan tak mau
kehilangan kesempatan ini, aku kemudian menyetujui dengan beberapa persyaratan.
Bukan kah berhubungan social dengan orang lain itu tentang kepercayaan? Aku
mengizinkan mereka bermain dipantai dengan persyaratan mereka dapat menjawab
pertanyaanku tentang gerhana matahari. Hampir sebagian besar murid-murid yang
hadir paham tentang proses gerhana matahari yang beberapa hari lalu telah ku
jelaskan. Murid-muridku pulang setelah mendapatkan banyak kuyong dan latoh.
Sebagian besar bahkan diberikan padaku. Hari ini aku banyak belajar bahwa yang
terjadi maka terjadilah, aku tak dapat mengubahnya namun aku dapat
mengelolahnya menjadi lebih baik atau mengelolahnya menjadi lebih buruk. Semua
kesempatan ada ditanganku sendiri bukan orang lain.
Honda 1 = Motor
lawa2 =
cantik
kuyong3 = siput
latoh4
=
semacam rumput laut berbulir-bulir
ketam5
= Kepiting kecil