Ini kisah saya
saat berpuasa di Natuna. desain rumah khas merupakan cirri khas desa Pengadah. Hanya
ada hitungan jari rumah yang sudah perpondasi bata dan dan beton. Salah satunya
adalah rumah dinas guru, tempat saya tinggal bersama Kak Deviana. Beliau yang
akrab disapa Kak Dev adalah salah satu guru honorer di sekolah. Fasillitas rumah
dinas guru sangat lengkap, 2 kamar dan 1 kamar mandi.
Ada perbedaan
yang nyata antara dusun di desa Pengadah. Dusun satu terletak menjorok ke pantai sehingga
sebagian besar kakus mereka hanya berupa dipan yang airnya langsusng turun ke
sungai pinggir pantai. Sementara dusun dua terletak di jalan utama sehingga
beberapa warga sudah memiliki kamar mandi. Sementara yang belum ada biasa
menggunakan pemandian umum yang tersedia dekat dengan masjid.
Bulan puasa ini
sangat berbeda dengan puasa-puasa saya sebelumnya. Jika di tahun-tahun lalu
saya sibuk mengurus marjan dan biskuit kalengan. Tahun ini saya sibuk dengan site visit dan keberlangsungan acara Festival
Anak Natuna. Kami memiliki ide untuk keliling Pulau Bunguran, tepatnya keliling
SD di desa yang ada pengajar mudanya, dimana kami akan menginap dan
bersosialisasi dengan warga desa.
Salah satu desa
tempat saya bermalam adalah desa Teluk Buton. Desa ini adalah desa tetangga. Meski
desanya bersebelahan dengan Desa Pengadah, Desa Teluk Buton memiliki Kecamatan
yang berbeda. Berkunjung ke Desa Teluk Buton sudah sering saya lakukan. Biasanya
saat menjemput atau mengantar pulang Fenty ibadah minggu. Tapi untuk menginap
adalah pengalaman pertama saya.
Saya menginap di
rumah Bu Lilis, salah satu guru di SDN Teluk Buton. Ada rasa takut menyelimuti
saya ketika itu terlebih saya hanya pernah berbicara singkat dengan Bu Lilis. Maklum
saya memiliki ketakutan tersendiri jika berkenalan dengan orang baru.
Rasanya senang
bukan main ketika Bu Lilis telah menyediakan kue beranekaragam saat menyambut
saya datang. Eh, salah deh, saat menyambut magrib untuk iftar. Ada kebiasaan
unik di Natuna, yaitu bertukar takjil dengan tetangga. Jadi kita hanya perlu
membuat satu menu takjil saja. Voila!
Saat iftar sudah penuh dengan kue takjil yang beranekaragam, hasil tukar-tukar
dengan tetangga.
Buka puasa kali
itu terasa manis sekali, maklum dari hari pertama puasa saya dan teman-teman
sudah disibukkan dengan rencama site visit di kabupaten. Bu lilis adalah guru
sekaligus ibu rumah tangga pada umumnya. Suaminya adalah sekertaris desa
sementara anaknya Adhan yang berusia 5 tahun tinggal bersama neneknya di desa lain. Adhan hanya
pulang ke rumah saat libur sekolah.
Setiap wilayah
pasti punya keistimewaannya sendiri. Dulu saat kuliah dan menetap di
Jatinangor solat tarawih dengan witir berlangsung selama 23 rakaat. Di desa
Teluk Buton bahkan adzan Isya baru berkumandang jam delapan malam. Saya rasa
tujuannya agar warga bisa iftar lebih lama dengan keluarga. Berbeda dengan
solat tarawih di rumah saya, di Teluk Buton solat tarawih berlangsung tanpa di selingi
ceramah.
![]() |
saya bersama Bu Lili di depan SDN 005 Teluk Buton |
Sepulang solat
tarawih saya sudah disiapkan kamar sederhana plus tikar oleh Bu Lilis. Rumah Bu
Lilis sangat sederhana dengan desain kayu, tak dapat dibandingkan dengan rumah
dinas guru yang saya tinggali. Di rumah Bu Lilis hanya ada 1 kamar. Bu Lilis
berbaik hati untuk membatasi sekat dan di lindungi gorden agar saya bisa
bermalam. Bu Lilis juga tak segan-segan menyediakan kipas angin agar saya tidak
gerah. Sederhana, namun sangat membekas.
Meski
hanya bermalam sehari. Bu Lilis benar-benar menganggap saya seperti anaknya
sendiri. Bu Lilis benar-benar mengagetkan saya dengan variasi makanan yang
beliau siapkan saat sahur. Padahal selepas tarawih beliau mengeluh sesak nafas.
Bu Lilis juga tak segan-segan meminta saya untuk mencuci piring. Tentu saya
sangat senang saat itu, bagaimanapun saya merasa dianggap keluarganya sendiri
meski hanya bermalam 1 hari.
Kehangatan
keluarga Bu Lilis masih terasa hingga hari ini. Meskipun hanya satu hari saya
mau menangis, tak rela berpisah ketika harus menuju desa lainnya. Saat lebaran
datang beliau juga mengundang saya untuk berkunjunga ke rumah beliau. Saya sangat
terharu saat beliau menyguhkan pempek buat saya. Mungkin rasa tak senikmat
buatan ibu di rumah, namun mampu membangkitkan rindu saya akan suasana lebaran
di rumah bersama keluarga besar. Tanpa terasa waktu berlalu. Kejadian itu sudah
berjalan satu tahun yang lalu, namun kehangatan Bu Lilis kepada saya masih
terasa hingga hari ini.