Tulisan ini
berasal dari percakapan saya dengan beberapa orang dengan segala kebodohan-kebodohan
saya selama ini. Ada kebodohan yang tak mampu saya ucapkan dan saya rangkai
bahkan hanya dalam sebuah kalimat. Kebodohan ini kerap menghantui saya, merasa
saya orang yang paling berdosa, membuat saya merasa sangat amat jauh dari
Tuhan, dan merasa jutaan taubat tak akan mampu Tuhan terima.
Kebodohan ini tak
ayalnya menciptakan dinding pembatas yang tinggi antara saya dan Tuhan. Kebodohan
ini membuat saya kadang malu untuk
bertegur sapa dengan Tuhan. Hingga saya sadar saya tak boleh terus terlarut
dalam kenangan-kenangan bodoh saat itu, hingga saya sadar menjauh dari Tuhan
akan membuat saya hancur.
Dan pada akhirnya saya temui beberapa teman yang
saya kira paham dan fasih tentang Tuhan dengan rasa malu saya tanyakan sedikit
demi sedikit tentang ketenangan yang
mungkin sudah saya lupakan.
Tak ayalnya tangis saya pecah,
ketika salah satu dari mereka berkata, “Ketenangan
seperti apa lagi? Kamu kan rajin puasa, Han.”
Ya Tuhan, sebegitu putihkan diri saya di mata teman saya itu? Setelah banyak
noda yang tetes kan dalam diri saya. Sebegitu
putihkan Tuhan telah menyembunyikan aib saya? Lalu mengapa saya dengan bodohnya
terus menerus meneteskan noda tanpa celah di dalam diri saya, sementara Tuhan
sibuk menutupinya? Mengapa saya menjauh menciptakan dinding pembatas, ketika
Tuhan sedang berusaha menutupi aib saya?
Percakapan itu saya
ceritakan pula dengan 1 teman yang sungguh saya percaya, sebut saja beliau M. Kepada
M juga saya ceritakan kebodohan-kebodohan yang telah saya lakukan.
M berkata memeluk saya erat, “Han, Tuhan Maha bijaksana. Itu tandanya Tuhan
sayang sama kamu. Itu tandanya Tuhan melindungimu. Itu tandanya Tuhan ingin memelukmu
dalam Taubatmu. Dan tentang kebodohan yang kamu lakukan cukup Tuhan yang maha
mengetahui. Jangan kamu ceritakan lagi ke orang lain. Cukup gue yang tau Han. Dan
gue tau kamu menceritakan kan kebodohan itu ke gue bukan karena kamu ingin gue
tau kebodohan lo, tapi karena kamu tidak tau harus meluapkan rasa sakitmu. Jagadiri
baik-baik ya cantik. Banyakin istigfar, ” lagi-lagi air mata saya jatuh. Melihat
begitu bijaknya M menanggapi kebodohan
saya.
Tuhan maafkan kebodohan-kebodohan saya, terlebih
dengan menceritakan kebodohan saya pada orang lain, sedang Tuhan menjaganya
dengan sebegitu rapat. Tuhan tolong peluk saya sejenak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar