26/02/16

As a Model



Gue gak pernah sedikitpun bercita-cita sebagai model. Dulu kalau ditanya orang tentang cita-cita gue, gue Cuma senyum-senyum najong. Hari ini mau jadi astronot, besok pilot, besoknya lagi dokter, besoknya lagi jati pembatu rumah tangga di tempat orang kaya. Hahaha. *ini serius gue pernah punya cita-cita seperti itu.*
Ternyata setelah hampir 2 tahun kerja gue sadar. Gue mungkin memang berbakat jadi model. *eaaa, gue ditimpuk orang-orang sedunia* muka jerawatan, kulit berminyak dan kusam masak mau jadi model. Eit, jangan slah sangka dulu. Bukan model-model macem yang ada di majalah  atau tv. Bukan! Gue berbakat jadi model,  iya model, yang ditiru orang banyak. *semoga gue bisa yang mengemban tugas sebagai model*
Dulu pas gue  jadi asisten manager di sebuah perusahaan  retail. Secara gak langsung gue jadi panutan karyawan seentero store, lupa kaus kaki dikit bisa-bisa ditanya, “Bu, kok gak pake kaus kaki hitam” dan masih banyak lagi. Mau gak mau tugas gue dulu  dijadihin contoh orang banyak. Salah sedikit habislah riwayat gue.
Sekarang setelah gue mengikuti Indonesia Mengajar, lagi-lagi gue terjebak sebagai model yang akan ditiru oleh anak-anak di sekolah. Mau gak mau, gue harus bisa menjaga image gue sebagai guru. Yang gak gue habis piker mereka senang banget manggil-manggil gue minta diajarin gue, terus kalau gue masuk kelas, kelas itun langsung pecah. Dwaar.
Baru gue sadari tugas  seorang guru ya layaknya model. Harus memberi kesan yang anggun, bijaksana dan memesona. Tapi ternyata kayaknya gue salah, gue dating sebagai sosok yang anggun dan memesona namun kurang disiplin jadilah anak-anak suka rebut sendiri. Jadilah akhir-akhir ini gue suka marah-marah, sifat asli gue keluar. Hahaha. Dan yang baru gue sadari anak-anak sadar kalau gue suka cemberut. Sampai ada yang kasih permen coklat supaya gue gak cemberut lagi. Sesuatu ye?
So, nanti selepas gue selesai program IM, gue tau gue mau jadi apa. *jadi model, ikut miss Indonesia dan kemudia miss univers* #yeey *diruqiah warga* bhahaha. Gak, gue selepas IM yam au cari pekerjaan yang sesuai dengan habit gue, ya sesuatu pekerjaan yang MODEL buat orang lain.

08/02/16

Dan Pantai Pun Terdiam


Kejadian ini bermula ketika…..
gue mulai penat dengan keadaan di desa tempat gue tinggal sekarang. Setelah sebelumnya gue di sarankan sebagai guru SBK (seni  budaya dan keterampilan) atau bahasa Inggris. Gue lebih memilih sebagai guru SBK, piker gue, yaelah kalau gambar mah gue bisa lah. Jengjeng, pas buka kurikulum dan masuk Kompetensi  dasar gue langsung pening. SBK setiap kelas harus ada materi seni rupa, kerajinan tangan, musik dan tari. Cailah, gue mana bisa nari. Nyanyi? Ya allah, udah banyak korban yang meyakinin kalau suara gue eksotis atau dengan kata lain bikin kuping orang pengang. Diperparah lagi tidak ada alat musik sedikitpun. Terus gue macem mana lagi ngajarin anak SD itu? Oke, curhatnya udahan aja ya. #dusta
Akhirnya gue diminta mengajarkan matematika. Okelah, gue juga sama dodolnya kalau belajar matematika. Seenggaknya matematika itu hanya angka yang bisa dihitung dengan berbagai macam cara. Oke, masuk ke kelas 5, its okay, mungkin karena jumlah muridnya hanya 5 orang. Masuk ke kelas 6, gue mulai desperate. Kalau gue kemarin-kemarin mulai percaya tidak ada orang yang bodoh dan orang yang pintar yang ada hanya orang malas dan orang rajin. Sekarang gue, mulai gak yakin dengan pemikiran itu. Anak kelas 6 perkalian 5 pun tak hapal. Lebih parah lagi PEMBAGIAN tak paham. Lalu gue harus ngajarin gimana caranya, untuk materi PECAHAN yang pasti pake perkalian, pembagian, FPB dan KPK pula? Pedang mana pedang? Mau harikiri aja.
Tak mau kalah membuat gue tambah menderita, gue diminta jadi guru Trobosan (persiapan materi UN) untuk anak kelas 6. Bisa bayangin perasaan gue saat ini? Dengan niat dan semangat belajar mereka yang minim membuat gue sangat pesimis akan kelulusan mereka. Sumpah mau nangis rasanya. Gue yang dilemma sendiri, sementara mereka mah kadang gak sadar kalau mereka bisa saja gak lulus SD.
Pertahanan gue pun pecah. Gue ngamuk-ngamuk di kelas saat Trobosan. Emosi gue udah tak tertahankan lagi. Gue marah karena mereka tak paham-paham juga, mereka sudah ingin pulang sebelum waktunya, belum lagi mereka malah main di kelas, ada anak yang loncat-loncat bikin pocong-pocongan, ngejahilin temen di sebelahnya pake karet. Gue meledak dan mengeluarkan ultimatum “Kalian itu bisa menghargai orang lain tidak? Apa perlu ibu marah-marah seperti ini setiap hari?” DWAAAR, suasana hening. Mereka terdiam melihat gue meledak. Tanpa babibu, gue keluar kelas dan pulang tanpa memedulikan mereka.
Gue balik ke rumah, mengambil kertas bekas, pensil warna dan speaker musik. Gue butuh refreshing. Gue berjalan ke pantai. Kebetulan samping rumah gue langsung pantai. Gue duduk di pondasi batas pantai. Memandang biru tosca-nya laut cina selatan. Gue menghidupkan speaker untuk menghidupkan suasana nyaman. Rasa penat dan jengkel rasanya hilang seketika. Saat gue mau ambil pensil warna yang berada di sebelah kanan gue, pandangan gue jatuh pada Alwi anak kelas 3 sedang berjongkok di bawah pondasi tanpa ekspresi. Gue berpikir panjang, ngapain ya dia sendirian di sana? Apa dia sedang main sendiri, tapi kok gak ada ekspresi. Apa dia lagi cari kerang, tapi kok menghadapa pondasi, bukan cari di pasir pantai.
Gue pun bertanya pada Alwi, “Alwi lagi ngapain?” Ia sepertinya dari tadi tidak sadar kehadiran gue.
“berak, bu.” jawabnya polos.
Gue cuma terperanjat mendengar perkataannya. Lagu yang dikeluarkan dari speaker seolah menghilang. Tiba-tiba semua menjadi hening, ombak di pantai tak lagi bergulung. Gue berusaha mencerna perkataanya. WHAT?! BERAK? DI PINGGIR PANTAI? Alamak!
“OH, hehehe. Ibu balik dulu ya Alwi,” jawab gue lemes. Mood gue langsung ancur seketika.