25/03/16

Nyepi di tahun 2016


Ada yang berbeda di pagi hari ini. Jam 4.30 pagi sudah banyak  suara Honda1 yang yang berkeliaran di sepanjang jalan, di samping rumah singgahku. Berbeda mungkin dengan pengalamanku di tahun-tahun sebelumnya. Nyepi identik dengan kesendirian, merefleksi amal perbuatannya selama 1 tahun berselang, diiringi dengan berpuasa satu hari penuh bagi umat Hindu. Itulah yang biasanya aku rasakan saat libur hari raya Nyepi, kebetulan beberapa temanku beragama Hindu. Akan tetapi hari ini, ketika aku tinggal di Pengadah-Natuna, semua tampak berbeda, mungkin karena hampir 100% penduduknya muslim.
Pukul 6 pagi ini, disekitar rumahku sudah ramai oleh suara murid-murid. “Ibu, Ibu..!” beberapa diantara mereka memanggilku dari luar rumah. Padahal aku baru saja selesai membersihkan rumah yang seperti kapal pecah. Ya, sehari sebelum tanggal 9 Maret ini. Rumah singgahku penuh dikunjungi murid-murid. Ada yang sengaja datang untuk membuat surat pena ke beberapa SD di Natuna ada pula yang datang untuk membuat teropong matahari. Hari ini, meskipun bertepatan dengan hari libur nasional hari raya nyepi, tidak menyurutkan minat murid-murid di SD Pengadah untuk melihat gerhana matahari. Iya, gerhana matahari yang tidak selalu ada tiap tahunnya. Di daerah kepulauan Natuna, terutama Pengadah, gerhana matahari maksimum hanya sebesar 86%.
Aku keluar dari rumah menuju sekolah. Kebetulan jaraknya tidak begitu jauh. Murid-murid menghampiriku. Aku memandang langit sejenak. Awan pekat memenuhi langit pagi itu, matahari terbit dengan malu-malu. Ada perasaan takut yang menghantui, bagaimana jika gerhana matahari tidak tampak?
Murid-murid memburuku dengan pertanyaaan yang sama, “Mana bu, gerhananya, mana?”
Aku hanya tersenyum kecut, segala persiapanku nampaknya akan percuma. Rencana moderasi yang kubuat dengan pos-pos media melihat gerhana, dan juga soal-soal perkalian dan pembagian yang kubuat di pos pengamatan seakan hanya menjadi kekecewaan belaka. Aku berjalan ke sekolah masih dengan berusaha tersenyum riang, walau hatiku sangat khawatir.

                Aku sampai di sekolah dengan pintu gerbang masih tertutup rapat, kepala sekolah dan satu guru yang berjanji hadir belum juga datang. Ada perasaan cemas yang bukan main, takut usaha murid untuk membuat media teropong dari dua hari yang lalu akan sia-sia. Belum lagi jika saat Pak Syah kepala UPTD dan Ibu Rus Pengawas yang berjanji hadir datang, dan ternyata gerhana matahari tidak tampak? Malu, pastinya.
                Aku mencoba melakukan beberapa pemetaan mengenai pos-pos permainan yang akan dibuat di sekolah, untuk menghilangkan kegelisahanku. Sayangnya dari sekolah, matahari tidak tampak terlihat tertutup pohon kelapa yang cukup banyak. Aku kemudian mencoba keluar menuju tepi pantai, murid-murid mengikutiku dari belakang tanpa kuminta, seolah masih bertanya mana yang namanya gerhana matahari.
                Kuputuskan untuk mengalakukan pengamatan di tepi pantai agar murid-murid dapat melihat secara jelas gerhana matahari. Awan pekat masih menghalangi matahari, hanya bias cahaya matahari yang memantul di ujung timur pantai. Waktu terus berputar, namun tidak ada seorang pun lagi yang datang kesekolah. Menambah pekatnya energi negatif yang kukeluarkan.
Jam 06.43 WIB, mobil Pak Mat, kepala sekolahku melaju ke arah sekolah lalu berlalu. Aku cukup kebingungan mengapa Pak Mat malah berlalu? Ternyata Pak Mat memberhentikan mobilnya di depan rumah singgahku. Aku melihat dari kejauhan beliau keluar dari mobilnya sendiri. Tak ada Pak Syah, ataupun Ibu Rus yang kemarin sempat berjanji akan hadir ke sekolah. Rasa kekecewaanku semakin menumpuk. Yasudahlah, sing penting aku sudah berusaha melakukan tugas yang diberikan padaku.
                Aku kemudian menghampiri kepala sekolah. “Pak, Pak Syah tidak pergi bersama bapak?” tanyaku saat saya sudah berada di dekat Pak Mat.
                “Tidak bu, kemari izin tidak jadi hadir. Ada keperluan di pinang,”
                “Oh…., kalau Bu Rus?”
                “Ibu Rus sudah susah untuk berjalan, buk. Kakinya masih bengkak,” jawab Pak Mat. Selalu, selalu alasan yang sama. “Bu, pengamatannya di sini saja bu. Kalau di sekolah tidak terlihat Bu. Langitnya berawan pula Bu. Entah tampak atau tidak gerhana mataharinya,” tambah Pak Mat. Entah mengapa kali itu benar-benar kecewa. Sudah! Sudah lupakan saja pos-pos permaian yang telah dibuat dari tadi malam! Mari tutupi kekecewaan dengan senyum lebar.
 Aku mengajak murid-murid ke tepi pantai di belakang rumah singgahku. Awan masih saja menutupi matahari dan pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya down sesekali berbunyi nyaring. ‘Bu, mana gerhana mataharinyanya, mana, Bu? Mana?’
“Ambil penyapu di kelas sana, kita sapu awannya,yuk! Supaya tidak menghalangi matahari,” ucapku menanggapi pertanyaan-pertanyaan dengan bercanda. Bagaimanapun aku harus berpikir setenang mungkin, aku tidak ingin meledak di depan muridku.


sibuk mencari dimana gerhana matahari
Sesekali saat awan berarakan meninggalkan langit, gerhana matahari tampak. Dalam hitungan menit gerhana matahari tertutup awan lagi. Hal ini terus menerus, namun tidak menurunkan semangat muridku. Energi posistif kembali mengelilingiku, ketika melihat mereka bersemangat.
Mereka begitu antusias, ada yang saling berebutan ingin melihat dengan kacamata khusus gerhana adapula yang tetap kekeuh menggunakan teropong yang telah mereka  buat meskipun mereka belum menemukan titik timbul cahaya mataharinya. 
“Bu Hani! Keliatan bu, keliatan!” Seru Sahara, salah seorang muridku yang menggunakanan teropong buatannya.
“Bu, warnanya merah bu!” jerit Diki menggunakan kacamata khusus gerhana.
“Bukan, bu. Warna oren. Kayak bulan sabit. Ih, Lawa2 nya!” seru Ine menimpali percakapan Diki.
“Ibu, mau liat bu, mau liat!” ucap muridku yang tidak kebagian menggunakan kacamata. Maklum kacamata gerhana yang diberikan padaku hanya berjumlah lima buah. Satu buah dibawa pulang oleh Pak Darani yang rencananya akan datang namun tidak datang, satu dipegang oleh Pak Mat dan tiga buah sisanya digunakan secara bergantian oleh anak murid.

pengamatan dengan kacamata gerhana

Jeritan bahagia murid-murid terdengar jelas. Kekewaanku hilang sudah. Keinginan kecilku tercapai sudah. Sebuah keinginan agar murid-muridku menambah ilmu dan menambah pengalaman mengenai gerhana matahari.

murid-murid mencoba dengan tropongnya masing-masing
Beberapa warga di sekitar pantai keluar rumah mendengar kehebohan dari anak muridku. Pak Mat menerangkan secara singkat apa yang sebenarnya sedang terjadi di sekitar pantai. Beberapa warga yang tadinya takut-takut akan mitos gerhana matahari-jika keluar rumah akan sakit-akhirnya ikut penasaran dengan bentuk gerhana matahari yang sesungguhnya. Ditambah pemberitaan di media TV yang tiada habisnya tentang gerhana matahari, membuat mereka semakin penasaran. Pak Mat meminjamkan kacamata gerhana yang sedari tadi ia pegang kepada warga.

beberapa warga yang ikut mencoba

Sekitar hampir 2 jam berdiri dan berpanas-panasan dipantai murid-murid mulai kelelahan. Topik mengenai gerhana matahari berubah ketika melihat air pantai sedang surut. Murid-muridku kemudian terlihat antusias untuk mencari Kuyong3, latoh4 dan ketam5 atau bahkan hanya sekedar untuk mandi air asin.
“Bu, mandi air asin yuk, mandi air asin!” ucap murid kelas 6 yang bernama rasmi.
“Memangnya kalian bawa baju ganti?” tanyaku.
“Gak apa-apa buk. Ya bu, ya bu!” ucap Febri tak mau kalah.
Seakan tak mau kehilangan kesempatan ini, aku kemudian menyetujui dengan beberapa persyaratan. Bukan kah berhubungan social dengan orang lain itu tentang kepercayaan? Aku mengizinkan mereka bermain dipantai dengan persyaratan mereka dapat menjawab pertanyaanku tentang gerhana matahari. Hampir sebagian besar murid-murid yang hadir paham tentang proses gerhana matahari yang beberapa hari lalu telah ku jelaskan. Murid-muridku pulang setelah mendapatkan banyak kuyong dan latoh. Sebagian besar bahkan diberikan padaku. Hari ini aku banyak belajar bahwa yang terjadi maka terjadilah, aku tak dapat mengubahnya namun aku dapat mengelolahnya menjadi lebih baik atau mengelolahnya menjadi lebih buruk. Semua kesempatan ada ditanganku sendiri bukan orang lain.


Honda 1            = Motor
lawa2                      = cantik
kuyong3                = siput
latoh4                     = semacam rumput laut berbulir-bulir
ketam5             = Kepiting kecil



                

06/03/16

Jangan Satu Tahun, Seribu Tahun Ya!


   Kebetulan saya mendapat tugas mengabdi selama 1 tahun di Pengadah. Timbul pertanyaan kecil saat saya sampai di Desa Pengadah, “Apa saya bisa berarti bagi orang-orang di sini?” dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang meningkatkan rasa takut pada diri saya sendiri. Bagaimanapun rasa takut saya mulai berkembang ketika saya sulit memahami bahasa daerah setempat di awal penempatan. Jadi yang saya lakukan hanya tersenyum ketika bertemu dengan penduduk desa.

       Rasa ketakutan saya semakin menjadi-jadi selama seminggu saya di sana. Menghilangkan kecanggungan saya mulai mendekati murid-murid. Tak banyak waktu dalam hitungan jam kami sepakat besok akan mandi air asin di pantai. Tak tanggung-tanggung mereka berjanji menjemput saya dan akan berjalan kaki bersama-sama menuju pantai. Rumah tempat saya tinggal sebenarnya terletak di pinggir pantai namun di Desa Pengadah ada beberapa pantai yang memang dijadikan objek wisata penduduk lokal.




Senyum Manis Travelis dan Vina

Perjalanan Menyusuri Tepi  Pantai



      Keesokan harinya jam 7 pagi saya sudah dijemput beberapa murid, sambil menunggu murid-murid lainnya mereka bermain di pantai depan rumah tempat saya tinggal, kebetulan air pantai sedang surut. Mereka mencari beberapa ikan dan ketam di pinggir pantai. Tak mau kalah saya pun menhampiri mereka, membantu mereka menangkap ikan dan ketam. “Bu, Bu! Ada nyewen bu, ada nyewen! Bantu kami tangkap bu!” teriak salah seorang murid saya yang bernama Travelis. Bukannya ikut membantu saya malah sibuk melihat hewan yang mereka sebut nyewen. Bentuknya sekilas seperti lele jumbo yang berukuran panjang tapi dari kegesitannya nyewen bisa dikatakan hampir sama dengan belut. Lain halnya dengan Travelis yang ingin menangkap nyewen, Vina temen sekelasnya malah ketakutan. “bu takut nanti disengat!, nanti kaki vina bengkak!”
Nyewen yang Sudah dibakar

     Tak lama setelah berkejar-kejaran dengan nyewen, antara ingin menangkap dan harus berhati-hati agar tidak tersengat nyewen akhirnya dapat ditangkap. 
               “Bu, nanti kita bakar ya bu. Hmm, nyaman loh bu. Kita kemping bu makan di pantai Jani. Nanti kita cari nganga juga  ya, bu” ucap Nanda pada saya.
             "Bu, song gi (ayo pergi), ke pelabuhan Jani. Lewat tepi pantai saja bu biar laju (cepat)!" ucap Wanda pada saya.
           Saya kemudian menyusuri pantai menuju pelabuhan. Perjalanan cukup melelahkan karena jarak pelabuhan hampir 4 KM lewat jalur darat. Perjalanan bahkan memakan waktu hampir 2 jam, namun tidak berasa karena sambil menyusuri pantai kami sambil mencari ikan, nganga, ketam dan tentunya juga menemukan banyak bintang laut. Oh, saya akan jelaskan sedikit tentang Nganga. Nganga  adalah hewan laut yang rumah bernaungnya digunakan sebagai hiasan yang dijual dipinggie pantai. Kali ini saya benar-benar lihat bentuk hewan yang tinngga di dalamnya. Nah, ini hewan yang sering disebut nganga oleh warga lokal.
Nganga bakar

      Setelah melalui perjalan panjang, akkhirnya kami sampai dipelabuhan di sana, kami membawa bekal yang kami bawa sekaligus menyiangi hasil laut yang kami dapatkan.

Pelabuhan Jani
 Selepas memakan bekal yang kami bawa. Perjalanan kami lanjutkan ke pantai ujung Jani. View di sana sangat eksotis menurut saya. Terlebih bagi saya yang saat ini sudah jarang sekali berlibur. Pantainya dilindungi oleh batu karang dengan warna pantai hijau tosca. Subhanallah! Tuhan, memang MAHA KUASA!

Pantai Jani


              Saya begitu terpana ketika ternyata mereka dengan sigap ada yang membuat api, ada yang mencari kayu, ada yang mengambil nyok (kelapa) dan ada sebagain mandi air asin. Rasanya senang sekali bisa makan, bermain dan berkumpul dengan murid-murid. apalgi menyoba makan baru seperti nganga dan nyewen.  Dari Sensori rasa nyewen mirip dengan lele, namun lebih kenyal. sedangkan nganga, nampaknya akan menjadi makanan kesukaan saya selanjutnya. rasanya kenyal-kenyal kya seperti cumi.
Selamat Makan, Selamat Datang di Penagadah! :)

Suatu hal yang saya pikir akan sulit. Ternyata hanya dalam 1 minggu mereka sudah bisa mempercayai saya yang baru mereka kenal. Bahkan mereka ada yang menangis karena saya cerita hanya tinggal 1 tahun di sini. “Bu, tinggal di sini aja bu,ya. Nikah di sini saja, jangan cuma satu tahun ya bu, seribu tahun ya bu,” Mulai saat itu saya bertekat untuk membangun sebuah kepercayaan tidak ada lagi ketakutan, jika saya takut mau sampai kapan saya akan terbelenggu dengan ketakutan sendiri?